LAHIRNYA INPRES MENURUT INSTRUKSI PRESIDEN RI NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM
BAB.I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pelembagaan hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keberhasilannya dimulai dengan goalnya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan,[1] disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan umat. Pun dengan Peradilan Agama pasca lahirnya UU Nomor 7 tahun 1989, dalam hukum materil belum mempunyai panduan tetap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para hakim Peradilan Agama. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
BAB.II
PEMBAHASAN
PROSES LAHIRNYA KHI
1. Periode awal sampai 1945
Di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Kedudukannya disebutkan dalam perundang-undangan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di sini. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri, melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Samudra Pasai di Aceh Utara pada akhir abad 13 yang merupakan kerajaan Islam yang pertama kemudian diikuti Demak, Jepara, Tuban Gresik dan beberapa kerajaan lainnya. Pada zaman VOC kedudukan Hukum Islam, dalam bidang kekeluargaan, diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium Freijer. Selain itu telah dibuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang dan makasar.
Pada zaman penjajahan Belanda mula-mula hukum Islam, dengan bertumpu pada pikiran Sholten van Haarlem, diakui oleh pemerintah Hindia Belanda secara tertulis dengan istilah “godsdienstige wetten”, sebagaimana terlihat pada pasal 75 (lama) Regeering Reglemen tahun 1985. Kemudian ditegaskan dalam pasal 78 ayat (2) Regeering Reglemen 1855 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Bumiputra, atau dengan mereka yang disamakan dengan mereka, maka mereka itu tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan mereka.
Peradilan yang diperuntukkan bagi mereka yang telah ditentukan yaitu Priesterraad (Peradilan Agama, Stbl. 1882 No. 152 jo. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa Madura) dan Kerapatan Qadli, (Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur) serta kemudian setelah merdeka Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (PP No. 45/1957 untuk daerah luar Jawa/Madura dan Kalimantan Selatan/Kalimantan Timur).
Meskipun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937 mengeluarkan bidang kewarisan dan kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan dikeluarkan Stbl. 1937 No. 116, namun de facto hukum Islam masih tetap menjadi pilihan umat Islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan masalah kewarisan diantra mereka melalui Pengadilan Agama.
Namun demikian terjaminnya kedudukan hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidaklah otomatis memberikan bentuk kepada hukum Islam sebagaimana hukum tertulis. Sebagaimana terlihat dalam lintasan sejarah nanti hal itu akan melalui proses yang cukup rumit.
2. Periode 1945 – 1985
Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antar satu dengan yang lainnya. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak dan rujuk umat Islam yang masih diatur oleh beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan negara RI sebagai negara kesatuan. Peraturan-peraturan tersebut ialah Huwelliijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S 1933 No. 98 dan Huwelliijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482. Pada saat itu terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (umat Islam) sedang dikerjakan oleh Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Hal demikian sejalan dengan dikeluarkannya Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 sebagai pelaksanaan PP. 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.
Didalam huruf b surat edaran tersebut dijelaskan sebagai berikut: “untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut dibawah ini:
1. Albajuri;
2. Fathulmu’in;
3. Syarqowi alat’tahrir;
4. Qalyubi/Mahalli;
5. Fathul wahhab;
6. Tuhfah;
7. Targhibulmusytaq;
8. Qawanin Syar’iyah lis Sayyid bin Yahya;
9. Qawanin Syar’iyah lis Sayyid Sadaqah Dachlan;
10. Syamsuri fil Fara’id;
11. Bughyatul Musytarsyidin;
12. Alfiqu’ ala Madzahibil Arba’ah;
13. Mughnil Muhtaj.
Dengan menunjuk 13 buah kitab ini yang dianjurkan maka langkah ke arah kepastian hukum semakin nyata.
Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkwinan dan peratuan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik merupakan pergeseran bagian-bagian dari hukum Islam ke arah hukum tertulis. Namun demikian bagian-bagian lain tentang perkawinan, kewarisan, wakaf dan lain-lain yang menjadi kewenangan Peradilan Agama masih berada di luar hukum tertulis. Dalam rangka mencapai keseragaman tindak antara Mahkamah Agung dan Departeman Agama dalam pembinaan badan Peradilan Agama sebagai salah satu langkah menuju terlaksananya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman serta untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada tanggal 16 September 1976 telah di bentuk panitia kerja sam denagan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 04/KMA/1976 yang di sebut PANKERMAHAKAM (Panitia Kerjasama Mahkamah Agung/Departemen Agama). Setelah adanya kerjasama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat yang senagian masih sebagian hukum tidak tertulis, menampilkan diri dalam rangkaian seminar, simposium dan lokakarya serta penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Setelah adanya kerjasama dengan Mahkamah Agung, kegiatan Departemen Agama dalam rangka penyusunan ini melakukan serangkaian seminar, simposium dan lokakarya serta penyusunan kompilasi hukum Islam di bidang hukum tertentu mulai tahun 1976 sampai dengan tahun 1985. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah diikutsertakan ahli hukum dan beberapa kalangan hukum terkait seperti Hakim, Pengacara, Notaris, Kalangan Perguruan Tinggi, Departemen Kehakiman, IAIN dan juga tokoh-tokoh masyarakat, Ulama dan Cendikiawan Muslim serta perorangan lainnya.
3. Periode 1985- sekarang
Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksan proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.
LATAR BELAKANG GAGASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yudisial Peradilan Agama, tugas pembinaan ini didasarkan pada Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh pengadilan departemen masing-masing, sedangkan pembina teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaan dilingkungan Peradilan Agama baru pada tahun 1983 setelah penandatanganan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RII No. 01 02, 02, dan 04/SK/I-1983 dan No. 1,2,3, dan 4 tahun 1983.keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-undang tentang susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif.
Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama, yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
a) Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam
Gagasan dasar ini dicetuskan oleh Prof. H. Busthanul Arifin, SH, yaitu:
1. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang dijelaskan dan dapat dilaksanakan beik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2. Persepsi yang tidak seragam tentang syar’iyah akan dan sudah menyebabkan hal-hal:
a. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum Islam itu (man anzallahu).
b. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjakanjakn syariat itu (tanfidziyah).
c. Akibat kepanjangan adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945, dan per-UU-an lainnya.
d. Dalam sejarah Umat Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam sebagai perundang-undangan negara, yaitu:
o Di India masa Raja An Rijeb yang membuat dan memeberlakukan Peundang-undangan Islam yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri.
o Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah al-Ahkam al-Adliyah.
o Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Sudan.
Apa yang telah dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958 dengan membatasi hanya 13 buah kitab kuning dan kitab kuning yang selama ini dipergunakan di Peradilan Agama, adalah merupakan upaya kearah kesatuan dan kepastian hukum yang sejalan dengan apa yang dilakukan di negara-negara tersebut. Karena itulah kemudian tibul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai Buku Hukum bagi Pengadilan Agama.
b) Landasan Yuridis
Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat ialah UU No. 14/1970 Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”, dan didalam fiqih ada Qa’idah yang mengatakan bahwa: “hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan”. Keadaaan masyarakat itu selalu berubah, dan ilmu fiqih itu sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakt. Diantara metode-metode itu ialah maslahah wal mursalah, ihtihsan, istishab dan ‘urf.
c) Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqih Indonesia sebagaimana telah pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin, SH dan Prof. T.M. Hasby Ash Shiddiqi sebelumnya mempunyai tipe fiqih okal semacam fiqih Hijazy, fiqih Mishry, Fiqh Hindy, Fiqh lain-lain yang sangat memperhatiakn kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat, yang bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. Ia mengarah kepada unifikasi madzhab dalam hukum Islam. Didalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia.
d) Realisasi Kompilasi Hukum Islam
1) Proses Pembentukan KHI
Pembentukan KHI dilaksanakan oleh sebuah Tim Pelaksana yang ditunjuk dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.
Didalam SKB tersebut ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk dengan Prof. H Busthanul Arifin, SH (Ketua MA Urusan Lingkungan PA) sebgai Pimpinan Umum Pelaksna Proyek.
Isi Kandungan KHI
KHI terdiri dari tiga buku, 30 Bab dan 229 pasal yang mengatur tentang Hukum Keluarga Islam seperti yang tersusun secara sistematis dibawah ini:
BUKU I HUKUM PERKAWINAN
BAB I Ketentuan Umum (Pasal 1)
BAB II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
BAB III Peminangan (Pasal 11-13)
BAB IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
BAB V Mahar (Pasal 30-38)
BAB VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44)
BAB VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
BAB VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)
BAB XI Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)
BAB X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
BAB XI Batalnya Perkawinan (70-76)
BAB XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (77-84)
BAB XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
BAB XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
BAB XV Perwalian (Pasal 107-112)
BAB XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
BAB XVII Akibant Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
BAB XVIII Rujuk (Pasal 163-169)
BAB XIX Masa Berkabung (Pasal 170)
BUKU II HUKUM KEWARISAN
BAB I Ketentuan Umum (Pasal 171)
BAB II Ahli Waris (Pasal 172-175)
BAB III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
BAB IV Aul dan Rad (Pasal 192-193)
BAB V Wasiat (Pasal 194-209)
BAB VI Hibah (Pasal 210-214)
BUKU III HUKUM PERWAKAFAN
BAB I Ketentuan Umum (Pasal 215)
BAB II Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (Pasal 216-222)
BAB III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran
BAB IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal 225-227)
BAB V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal 228-229)
Mengenai materi pokok dalam KHI dapat kita lihat pada penjelasan M Yahya Harahap sebagai berikut:
1. Materi Pokok Hukum Perkawinan
1. Penegasan dan Penjabaran UU Nomor 1 Tahun 1974
2. Mempertegas Landasan Filosofis Perkawinan
3. Mempertegas Landasan Idiil Perkawinan
4. Penegasan Landasan Yuridis
5. Penjabaran Peminangan
6. Penguraian Sccara Enumeratif Rukun dan Syarat
7. Pengaturan tentang Mahar
8. Penghalusan dan Perluasan Larangan Perkawinan
9. Memperluas Ketentuan Perjanjian Kawin
10. Mendefinitifkan Kebolehan Kawin Hamil
11. Poligami Sebagamana dalam UU No. 1 Tahun 1974
12. Aturan Pencegahan Perkawinan
13. Aturan Pembatalan Perkawinan
14. Pelenturan Makna al-Rijal Qawwamun ‘ala al-Nisa
15. Pelembagaan Harta Bersama
16. Pengabsahan Pembuahan Anak secara Teknologis
17. Kepastian Pemeliharaan Anak dalam Perceraian
18. Perwalian Diperluas
19. Pokok-pokok tentang Perceraian
2. Materi Pokok Hukum Kewarisan
1. Secara Umum Mirip dengan Fara’id
2. Wasiat Wajibah bagi Anak Angkat
3. Bagian Anak Laki-laki dan Perempuan Tidak Mengalami Reaktualisasi
4. Penertiban Warisan bagi Anak yang Belum Dewasa
5. Pelembagaan Plaatsvervulling dengan Modifikasi
6. Penertiban dan Penyeragaman Hibah
7. Materi Pokok Hukum Perwakafan
3. Pokok-pokok Materi Umum
1. Menyejajarkan dengan peraturan perwakafan di bidang pertanahan
2. Menertibkan administrasi perwakafan
3. Pertanggungjawaban yang Jelas
4. Pelenturan Benda dan Tanah Wakaf.
Formalisasi KHI
Munculnya KHI di Indonesia sebagai hasil dari pemikiran dan kesepakatan ulama dalam menerimanya dalam majlis lokakarya, merupakan langkah beru dalam pemikiran hukum Islam. Kalau penerimaan UU Perkawinan dapat diartikan penerimaan materi meskipun diantaranya berbeda dengan materi yang terdapat dalam kitab fiqih, maka KHI tersebut berbentuk fiqih baru dalam perkawinan, kewarisan dan perwakafan dalam format perundangan (qanun) yang materinya berbeda dengan fiqih Syafi’iyah yang selma ini dijalankan di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan penyusunan KHI adalah untuk membenahi dan menyempurnakan kekurangan yang dialami oleh lingkungan Peradilan Agama. Tentang hal ini ada yang berpandangan bahwa sebaiknya ditempuh dengan jalur formal perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD 1945. Dengan jalan ini maka yang akan dihasilkan adalah Undang-Undang Hukum Perdata Islam sehingga keabsahannya benar-benar bersifat legalistik. Akan tetapi untuk menempuh jalan ini dapat dibayangkan betapa banyak proses yang harus dilalui. Berbagai tahapan harus dinaiki, mulai dari penyusunan racangan UU sampai pembahasan DPR. Belum lagi faktor-faktor non-teknis, seperti iklim politik dan psikologis. Satu segi, secara konstitusional kehadiran dan keberadaan PA telah diakui semua pihak. Namun di segi lain, barangkalai belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya kitab hukum perdata Islam.
Pengukuhan formal dari semula telah direkayasa dengan bentuk Penetapan Presiden atau Instruksi Presiden dan memang terkabul dengan lahirnya Inpres No. 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 dan pernyataan berlakunya dalam Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991.
Sedangkan menurut Nur Ahmad Fadil Lubis sebagaiman dikutip oleh Amiur Nuruddin et. al. merupakan persoalan yang sangat sensitif unutk dilakukan di negara Indonesia yang sangat plural dari sisi agama dan ideologi.
Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi juga mengatakan bahwa paham negara bangsa ini tidak memperbolehkan adanya aturan yang hanya berlaku bagi sebagian warganya dan undang-undang itu harus berlaku umum, tidak boleh ada undang-undang yang hanya berlaku untuk sebagian warga, kecil atau besar sekalipun.
Dengan demikian maka sebab-sebab pemberlakuan KHI oleh Inpres bukan menjadi Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1. Pluralisme bangsa Indonesia, sehingga bila dijadikan Undang-Undang maka KHI harus berlaku keseluruh lapisan sedangkan masyarakat selain Islam tidak akan menerimanya karena KHI merupakan produk Islam, tanpa melibatkan agama lain.
2. Mendesaknya kebutuhan Pengadilan Agama akan sebuah panduan hukum sebagai rujukan para hakim di lingkungan peradilan.
3. Kebutuhan umat Islam akan kesatuan dan kepastian hukum – terutama hukum keluarga yang sejak lama telah berlaku – mengharuskan kecepatan waktu untuk merelisasikannya.
4. Untuk menyusun sebuah Undang-Undang memerlukan waktu yang sangat panjang dan membutuhkan proses yang tidak mudah meliputi persetujuan anggota DPR.
BAB.III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kelahiran Kompilasi Hukum Islam bisa menjawab kebutuhan Peradilan Agama akan kepastian hukum. Fiqih yang sebelumnya tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa. Jadi tidak akan muncul hambatan psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksnakan hukum Islam. Namun demikian, KHI bukan berarti hukum final, namun lebih dari itu masih memerlukan pembaharuan-pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agama, Departemen RI, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975 serta KHI, 2004
Bisri, Cik Hasan (ed.), Kompilasi Hukum Islam dan Pradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, dalam M Yahya Harahap, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-II, 1999
Halim, Abdul, Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 2002
Kompas, Koran, 3 Oktober 2003
Lubis, Dr. H. Nur Ahmad Fadil dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Abdul Halim, Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 2002, h. 9
Disarikan dari Departemen Agama RI, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975 serta KHI, 2004, h. 239-66
Cik Hasan Bisri (ed.), Kompilasi Hukum Islam dan Pradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, dalam M Yahya Harahap, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-II, 1999, h. 50-75
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, h. 86
Cik Hasan Bisri (ed.), Ibid., h. 36-7
Dr. H. Nur Ahmad Fadil Lubis dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 31-2
Koran Kompas, 3 Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar