AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui  apa  yang  diistilahkan  oleh  ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama  Al-Quran  dalam  mu'amalah  keuangan
atau aktivitas ekonomi adalah:

     Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara  batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata  "batil"   diartikan   sebagai   "segala   sesuatu   yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".

Bukan  di  sini  tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat   ibadah   murni--  pada  dasarnya  tidak  memberikan
perincian. Ini untuk memberikan peluang  kepada  manusia  atau masyarakat  yang  sifatnya  selalu  berubah, agar menyesuaikan diri dengan  perubahan  masyarakat  sepanjang  sejalan  dengan nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam  terangkum dalam  empat  prinsip  pokok:  tauhid,  keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid  mengantar  manusia  mengakui   bahwa   keesaan   Allah mengandung   konsekuensi   keyakinan   bahwa   segala  sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah  Swt.  Dialah Pemilik  mutlak  dan  tunggal  yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:

     Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku      adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru      sekalian alam.

Prinsip  ini  menghasilkan  "kesatuan-kesatuan"  yang  beredar dalam   orbit  tauhid,  sebagaimana  beredarnya  planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain.

Keseimbangan mengantar manusia Muslim  meyakini  bahwa  segala
sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,

     Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
     dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah
     mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan?
     (QS Al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan  selaras  dengan  dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya
untuk menciptakan ketiga  hal  tersebut  dalam  masyarakatnya,
bahkan alam seluruhnya.

Kehendak  bebas  adalah  prinsip yang mengantar seorang Muslim
meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun  Dia
juga  menganugerahkan  kepada  manusia kebebasan untuk memilih
dua jalan yang terbentang  di  hadapannya  --baik  dan  buruk.
Manusia  yang  baik  di  sisi-Nya  adalah  manusia  yang mampu
menggunakan kebebasan itu dalam rangka  penerapan  tauhid  dan
keseimbangan  di  atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan  konsep  fardhu  'ain  dan jardhu kifayah. Yang
pertama  adalah  kewajiban   individual   yang   tidak   dapat
dibebankan   kepada   orang  lain  sedang  yang  kedua  adalah
kewajiban  yang  bila  dikerjakan  oleh  orang  lain  sehingga
terpenuhi  kebutuhan  yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak  seorang  pun  yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh
sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya,  maka
berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan  manusia  dalam  kegiatan  ekonomi
untuk  menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman
tangannya adalah milik Allah, yang antara  lain  diperintahkan
oleh   Pemiliknya   agar   diberikan  (sebagian)  kepada  yang
membutuhkan:

     Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
     diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama  Islam,  harta  kekayaan  bahkan  segala
sesuatu   adalah  milik  Allah.  Memang  jika  diamati  dengan
saksama, hasil-hasil produksi  yang  dapat  menghasilkan  uang
atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh  Tuhan  Yang  Maha
Esa.

Di   sisi   lain,  keberhasilan  para  pengusaha  bukan  hanya
disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi  terdapat  juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang   dagangannya   terjual?  Bukankah  petani  membutuhkan
irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah  para  pengusaha
membutuhkan  stabilitas  keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan?  Dan  masih  banyak  lagi  yang  lain.  Kalau
demikian,   wajar   jika  Allah  memerintahkan  manusia  untuk
menyisihkan sebagian dari  apa  yang  berada  dalam  genggaman
tangannya  ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari
sini agama menetapkan  keharusan  adanya  fungsi  sosial  bagi
harta kekayaan.

Tauhid,   yang   menghasilkan  keyakinan  kesatuan  dunia  dan
akhirat, mengantar  seorang  pengusaha  untuk  tidak  mengejar
keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan  pandangan  tentang  kesatuan
umat   manusia   mengantar   seorang  pengusaha  Muslim  untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari  sini  dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek  riba  dan  pencurian,  tetapi  juga  penipuan   walau
terselubung,  bahkan  sampai kepada larangan menawarkan barang
pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli  dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau
satu kelompok. Atas dasar ini  pula  Al-Quran  menolak  dengan
amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada orang-orang atau kelompok tertentu.

     Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
     kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan.  Hal
ini  tercermin  pada  ayat  34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman sedemikian keras kepada  para  penimbun,  serta  sabda
Nabi Muhammad Saw. berikut:

     Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari,
     dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas
     diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan  dasar  pemberian  wewenang  kepada  penguasa  untuk
mencabut  hak  milik  perusahaan  spekulatif  yang   melakukan
penimbunan,   penyelundupan,  dan  yang  mengambil  keuntungan
secara berlebihan, karena  penimbunan  mengakibatkan  kenaikan
harga yang tidak semestinya.

Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:

     Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
     sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
     berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Pemborosan dan sikap konsumtif  dapat  menimbulkan  kelangkaan
barang-barang  yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat
kenaikan harga-harga.

Dalam rangka memelihara  keseimbangan  itu,  Islam  menugaskan
Pemerintah    untuk   mengontrol   harga,   bahkan   melakukan
langkah-langkah yang  diperlukan  untuk  menjamin  agar-paling
tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:

     Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan
     api (HR Abu Daud).

Tiga komoditi ini merupakan  kebutuhan  masyarakat  pada  masa
Nabi  Saw.,  dan  tentunya  setiap  masyarakat  dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan  demikian  masing-masing
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua  hal  yang  disebut  di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara  individu
maupun kolektif.

Demikian  sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam
dalam bidang ekonomi.

Dalam  perkembangan  perekonomian  sesudah  turunnya  A1-Quran
telah    lahir    institusi-institusi   serta   kondisi   yang
diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti  halnya
dengan  perbankan  konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek perbankan itu dengan  riba,  sementara  ulama  lainnya
mentoleransinya  dengan  syarat-syarat  tertentu,  antara lain
bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah  bank  pemerintah,
karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga ke masyarakat. Berikut akan  disoroti  hal  tersebut  dan
segi penafsiran ayat riba.

RIBA

Keraguan  terjerumus  ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para  sahabat  Nabi,  seperti   ucap   Umar   ibn   Khaththab,
"Meninggalkan  sembilan  per  sepuluh  dari  yang  halal." Ini
disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang  utuh
tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Kata  riba  dari  segi  bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita
hanya berhenti pada makna kebahasaan  ini,  maka  logika  yang
dikemukakan   para   penentang   riba  pada  masa  Nabi  dapat
dibenarkan.  Ketika  itu   mereka   berkata   --seperti   yang
diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka  dengan  tegas
bahwa  "Allah  menghalalkan  jual beli dan mengharamkan riba."
Penegasan ini dikemukakan-Nya  tanpa  menyebut  alasan  secara
eksplisit,  namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau
hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat  surat,  tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di  Makkah,
walaupun  menggunakan  kata  riba  (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena  ia  diartikan  sebagai pemberian hadiah, yang bermotif
memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.

Upaya memahami apa yang dimaksud  dengan  riba  adalah  dengan
mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat  tersebut  yaitu  adh'afan
mudha'afah  (berlipat  ganda),  ma  baqiya minarriba (apa yang
tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum,  la  tazlimun
wa la tuzlamun.

Sementara   ulama,   semacam  Sayyid  Muhammad  Rasyid  Ridha,
memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya  riba  yang
berlipat  ganda.  Lipat  ganda  yang  dimaksud  di sini adalah
"pelipatgandaan yang berkali-kali".

Memang pada zaman jahiliah dan  awal  Islam,  apabila  seorang
debitur  yang  tidak  mampu  membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan,  ia  meminta  untuk  ditangguhkan   dengan   janji
membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.

Sikap  semacam  ini  amat  dikecam  oleh Al-Quran, sebagaimana
firman Allah:

     Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
     diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan
     menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih
     baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]:
     280).

Pendapat  yang  memahami  riba  yang  diharamkan  hanya   yang
berlipat  ganda,  tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena  masih  ada  ayat  lain  yang  turun  sesudahnya,  yang
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi  juga  karena  akhir  ayat  yang  turun  tentang  riba,
memerintahkan  untuk  meninggalkan  sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan  mengumumkan  perang  terhadap
mereka sedang

     Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
     demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya
     (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Hemat  penulis,  inilah  kata  kunci  yang  terpenting   dalam
persoalan  riba,  dan  atas  dasar  inilah  kita dapat menilai
transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk  praktek-praktek
perbankan.

Kesimpulan  yang  dapat  kita  peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang riba,  demikian  pula  hadis  Nabi  dan
riwayat-riwayat  lainnya  adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada masa turunnya Al-Quran  adalah  kelebihan  yang  dipungut
bersama  jumlah  hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan penindasan, bukan sekadar kelebihan  atau  penambahan  dan
jumlah hutang.

Kesimpulan  di  atas  diperkuat  pula dengan praktek Nabi Saw.
yang  membayar  hutangnya  dengan  berlebihan.  Dalam  konteks
pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:

Sebaõk-baik  manusia  adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui  sahabat  Nabi  A'bi  Rafi',
yakni    antara   lain   "melebihkan".   Hanya   tentu   harus
digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu  tidak  bersyarat
pada awal transaksi)

Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?

Ulama  sejak  dahulu  hingga  kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri orang-orang yang bertakwa.

                              ***

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi.  Intinya   adalah   keadilan,   kerja   sama,   serta
keseimbangan  dan  lain-lain.  Dan  semua  itu  tercakup dalam
larangan melakukan transaksi apa  pun  yang  berbentuk  batil,
eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Allah Menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba

penulis Al-Ustadz Askari bin Jamal Al-Bugisi

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“orang2 yg makan riba tdk dapat berdiri melainkan seperti berdiri orang yg kemasukan setan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yg demikian itu adl disebabkan mereka berkata sesungguh jual beli itu sama dgn riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang2 yg telah sampai kepada larangan dari Rabb lalu terus berhenti mk bagi apa yg telah diambil dahulu ; dan urusan kepada Allah. Orang yg mengulangi mk orang itu adl penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Penjelasan Mufradat Ayat

يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا

“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adl mengambil. Digunakan istilah “makan” utk makna mengambil sebab tujuan mengambil adl memakan sebagaimana yg dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yg ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dlm menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dgn dilarang riba bukan semata krn memakan saja namun orang2 yg menjadi sasaran dari turun ayat ini pada hari itu makanan dan santapan mereka adl dari hasil riba. mk Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dlm menjelaskan besar yg mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yg mereka peroleh utk menjadi makanan-makanan mereka. dlm firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. Jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat mk bagimu pokok hartamu; kamu tdk menganiaya dan tdk dianiaya.”
Ayat ini mengabarkan akan benar apa yg kami katakan dlm permasalahan ini yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala hal yg memiliki makna riba. Sama saja baik melakukan aktivitas yg bernilai riba memakan mengambil atau memberikan . Sebagaimana permasalahan ini telah jelas keterangan dari berbagai kabar yg datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ إِذَا عَلِمُوا بِهِ

“Allah melaknat yg memakan riba yg memberi riba penulis dan dua saksi jika mereka mengetahuinya.” .
Makna riba secara bahasa berarti tambahan. Dikatakan:

رِبَا الشَّيْءُ يَرْبُو

arti bertambah sesuatu. Adapun secara istilah riba ada dua macam:
Pertama: Riba Nasi`ah
Riba jenis ini ada dua bentuk:
1. Menambah jumlah pembayaran bagi yg berhutang dgn alasan melewati tempo pembayaran. Ini merupakan pokok riba yg diamalkan kaum jahiliyah.
2. Tukar menukar antara dua barang yg sejenis yg termasuk ke dlm barang-barang yg mengandung unsur riba pada dgn mengakhirkan pemberian salah satu dari barang tersebut kepada pihak kedua. Seperti tukar menukar emas yg tdk dilakukan secara kontan di tempat tersebut namun diakhirkan kedua atau salah satunya.
Kedua: Riba Al-Fadhl
Yaitu menambah jumlah takaran atau timbangan terhadap salah satu dari dua barang yg sejenis yg dijadikan sebagai alat tukar menukar dimana barang-barang tersebut termasuk mengandung unsur riba di dalamnya.

لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Mereka tdk bangun melainkan seperti orang yg kemasukan setan lantaran gila.”
Pendapat yg masyhur di kalangan mufassirin bahwa yg dimaksud adl pada saat mereka bangkit dari kubur di hari kiamat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Auf bin Malik Sa’id bin Jubair As-Suddi Rabi’ bin Anas Qatadah Muqatil bin Hayyan dan yg lainnya. Ada pula yg menafsirkan bahwa yg dimaksud adl kesulitan mereka dlm mencari penghasilan dgn cara riba yg menyebabkan akal mereka hilang sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dlm Tafsir-nya.
Yang dimaksud dgn al-mas adl kegilaan.

مَوْعِظَةٌ

“Mau’izhah” Yang dimaksud adl peringatan dan ancaman yg memperingatkan dan membuat mereka takut dgn ayat-ayat Al-Qur`an. Menjanjikan hukuman atas mereka disebabkan mereka memakan hasil riba.

فَلَهُ مَا سَلَفَ

“Maka bagi apa yg telah lalu” yaitu tdk ada celaan atas mereka apa yg telah dimakan dan dimanfaatkan sebelum dia mengetahui haram hal tersebut.

وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ

“Perkara dikembalikan kepada Allah.” Kata ganti hu pada lafadz diperselisihkan makna menjadi empat pendapat:
Pertama kata ganti tersebut kembali ke lafadz riba yg maksud bahwa perkara riba tersebut kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm menetapkan keharamannya.
Kedua kembali kepada lafadz “apa yg telah lalu” yaitu apa yg telah lalu urusan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm hal dimaafkan dan diangkat celaan dari yg melakukan.
Ketiga kembali kepada pelaku riba yaitu urusan kembali kepada Allah. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan hati utk berhenti dari perbuatan tersebut ataukah dia kembali kepada kemaksiatan dgn melakukan praktek riba.
Keempat kembali kepada lafadz “menghentikan perbuatannya” yaitu memberi makna hiburan dan dorongan kepada orang yg telah berhenti melakukan agar menjadi baik di masa yg akan datang.
Keempat makna ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dlm Tafsir-nya.

وَمَنْ عَادَ

“Siapa yg kembali” yaitu kembali melakukan praktek riba sampai dia mati. Ada pula yg mengatakan: “Barangsiapa yg kembali dgn ucapannya: ‘Sesungguh jual beli itu sama saja dgn riba’.”

Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang orang2 yg makan dari hasil riba jelek akibat yg mereka peroleh dan kesulitan yg mereka hadapi di kemudian hari. Mereka tdk bangun dari kubur pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yg kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kubur dlm keadaan bingung sempoyongan dan mengalami kegoncangan. Mereka khawatir dan penuh kecemasan akan datang siksaan yg besar dan kesulitan sebagai akibat perbuatan mereka.
Sebagaimana terbalik akal mereka yaitu dgn mereka mengatakan: Jual beli itu seperti riba. Perkataan ini tidaklah bersumber kecuali dari orang yg jahil yg sangat besar kejahilannya. Atau berpura-pura jahil yg keras penentangannya. mk Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas sesuai keadaan mereka sehingga keadaan mereka seperti keadaan orang2 gila.
Ada kemungkinan yg dimaksud dgn firman-Nya: “Mereka tdk dapat berdiri melainkan seperti berdiri orang yg kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila” yaitu pada saat hilang akal mereka utk mencari penghasilan dgn cara riba harapan mereka berkurang dan akal mereka semakin melemah sehingga keadaan dan gerakan mereka menyerupai orang2 yg gila tdk ada keteraturan gerakan dan hilang akal yg meyebabkan tdk memiliki adab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dlm membantah mereka dan menjelaskan hikmah-Nya yg agung: “Dan Allah menghalalkan jual beli.”
Karena di dlm mengandung keumuman maslahat. Ia merupakan perkara yg sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan kemudharatan bila diharamkan. Ini merupakan prinsip asal dlm menghalalkan segala jenis mata pencaharian hingga datang dalil yg menunjukkan larangan.
“Dan mengharamkan riba” krn di dlm yg mengandung kedzaliman dan akibat yg jelek.
Asy-Syaikh As-Sa’di melanjutkan penjelasannya: “Barangsiapa yg datang kepada mau’izhah dari Rabbnya” yaitu nasehat peringatan dan ancaman dari menjalani cara riba melalui tangan orang yg digerakkan hati utk menasehati sebagai bentuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap yg dinasehati dan penegakan hujjah atas “lalu dia berhenti” dari perbuatan dan tdk lagi menjalani “maka bagi apa yg telah lalu” yaitu apa yg telah berlalu dari berbagai bentuk mu’amalah yg pernah dilakukan sebelum nasehat datang kepada sebagai sebagai balasan atas sikap dlm menerima nasehat.
Pemahaman dari ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yg tdk berhenti dia akan dibalas dari awal hingga akhirnya. “Dan urusan kembali kepada Allah” berupa pembalasan dari-Nya dan apa yg dilakukan di masa datang dari perkaranya. “Dan barangsiapa yg kembali” dlm menjalani praktek riba dan tdk bermanfaat bagi nasehat bahkan berkelanjutan atas hal itu “Maka mereka adl penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.”

Hukuman bagi Orang yg Memakan Hasil Riba
Sesungguh orang2 yg melakukan berbagai macam praktek riba setelah datang penjelasan kepada mereka namun mereka tdk mengindahkan mereka akan mendapatkan dua kehinaan kehinaan di dunia dan kehinaan di akhirat.
Di dunia dia akan ditimpa kehinaan kerendahan tdk memiliki kemuliaan dan wibawa di mata masyarakat apalagi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Jika kalian berjual beli dgn cara ‘inah1 dan mengambil ekor-ekor sapi kalian kalian senang dgn sawah2 dan kalian meninggalkan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala mk Allah akan mencampakkan pada kalian kehinaan. Dia tdk akan melepaskan dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” Abu Dawud Al-Baihaqi dan yg lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dlm Shahih Al-Jami’ no. 423}
Dalam riwayat lain:

إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَتَبَايَعُوا بِالْعِيْنَةِ وَاتَّبِعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَتَرَكُوا الْجِهَادَ، بَعَثَ اللهُ عَلَيْهِمْ ذُلاًّ ثُمَّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوا دِيْنَهُمْ

“Jika manusia kikir dgn perak dan emas lalu berjual beli dgn cara ‘inah mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad mk Allah akan mencampakkan atas mereka kehinaan. Dia tdk melepaskan dari mereka hingga mereka kembali kepada agamanya.” Ath-Thabarani dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dlm Shahih Al-Jami’: 675}.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan dosa orang yg memakan riba termasuk diantara dosa-dosa besar yg membinasakan. Hal ini sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Jauhilah tujuh perkara yg membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah sihir membunuh jiwa yg diharamkan Allah kecuali dgn cara yg haq memakan hasil riba makan harta anak yatim melarikan diri pada saat perang berkecamuk dan menuduh kepada wanita mukminah yg terjaga.”
Tersebar perbuatan zina dan riba di sebuah kampung akan menjadi penyebab turun adzab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan dlm hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Apabila telah nampak zina dan riba di sebuah kampung mk sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka utk mendapatkan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Para pelaku riba juga termasuk orang2 yg mendapatkan laknat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yg memakan hasil riba yg memberi makan dengan penulis dan dua saksinya. Beliau berkata: Mereka semua sama .”
Adapun hukuman di akhirat mk telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm ayat ini bahwa mereka termasuk diantara penghuni neraka Jahannam. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dlm Shahih- dari hadits Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai shalat beliau menghadapkan wajah kepada kami lalu berkata: “Siapa di antara kalian yg bermimpi tadi malam?”
Jika ada seseorang yg bermimpi mk ia pun mengkisahkan lalu beliau berkata: “Masya Allah.” Suatu ketika beliau berta kepada kami: “Apakah ada seseorang dari kalian bermimpi?” Kami menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Akan tetapi tadi malam aku melihat dua lelaki mendatangiku lalu mengambil tanganku. Mereka mengeluarkanku menuju bumi yg disucikan.3 Tiba-tiba ada seorang laki2 yg sedang duduk dan seorang lagi berdiri. Di tangan ada kallub4 dari besi. Dia memasukkan besi tersebut melalui rahang hingga menembus tengkuk lalu dia melakukan hal yg serupa pada rahang yg lain. Rahang kembali seperti semula lalu dia kembali melakukan perbuatan serupa. Aku bertanya: ‘Ada apa dgn orang ini?’ Kedua menjawab: ‘Lanjutkan .’
Kami melanjutkan perjalanan sampai kami mendatangi seseorang yg berbaring di atas tengkuk dan seseorang berdiri di atas kepala sambil memegang sebongkah batu lalu memukulkan ke kepala hingga pecah. Bila ia telah memukulkan batu tersebut jatuh ke bawah. Ia pun mengambil lagi dan sebelum sampai ke orang itu lagi kepala telah kembali seperti semula. Lalu orang itu memukul kepala kembali.
Aku bertanya: ‘Siapa ini?’ Kedua menjawab: ‘Lanjutkan .’ Kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah lubang seperti tungku perapian. Di bagian atas sempit dan bagian bawah luas. Di bawah dinyalakan api. Jika api itu mendekat mereka pun memanjat hingga hampir saja mereka keluar. Jika api padam mereka kembali ke tempat semula. Di dlm terdapat para lelaki dan wanita dlm keadaan telanjang. Aku bertanya: ‘Siapa ini?’ Kedua menjawab: ‘Lanjutkan .’
Kami berjalan lagi hingga mendatangi sebuah sungai yg berisi darah. Di dlm ada seseorang yg berdiri di tengah sungai. Di tepi sungai ada orang yg menggenggam batu pada kedua tangannya. Orang yg ada di tengah sungai ingin menepi. Jika Ia hendak keluar orang yg di pinggir sungai melempar dgn batu yg mengenai mulut lalu ia kembali ke tempat semula. Setiap kali ia hendak keluar ia pun dilempar dgn batu pada mulut lalu ia kembali ke tempat semula.
Aku bertanya: ‘Ada apa dgn orang ini?’ Kedua menjawab: ‘Lanjutkan .’ Kami pun melanjutkan perjalanan hingga kami berhenti di sebuah kebun hijau. Di dlm terdapat pohon yg besar. Di bawah berteduh seorang tua dan anak-anak. Di dekat pohon tersebut ada seseorang yg memegang api pada kedua tangan yg ia menyalakannya.
Lalu kedua membawaku naik ke atas pohon lalu memasukkan aku ke dlm satu rumah yg aku tdk pernah sama sekali melihat rumah lbh indah darinya. Di dlm terdapat beberapa lelaki tua anak-anak muda wanita dan anak-anak kecil. Kedua mengeluarkan aku dari rumah tersebut kemudian membawaku menaiki sebuah pohon dan memasukkan aku ke dlm sebuah rumah yg lbh indah dan lbh afdhal . Di dlm terdapat orang2 tua dan anak-anak muda.
Aku bertanya: ‘Kalian berdua telah membawaku berkeliling pada malam hari ini. Kabarkanlah kepadaku tentang apa yg telah aku lihat.’ Kedua menjawab: ‘Ya. Tentang orang yg engkau lihat menusuk rahang dia adl pendusta. Dia suka berbicara dusta mk kedustaan dibawa orang hingga mencapai ke berbagai penjuru dan dia diperlakukan demikian sampai hari kiamat.
Orang yg engkau lihat dipukul kepala mk dia adl seseorang yg Allah ajarkan kepada Al-Qur`an. Dia tidur di malam hari dan tdk mengamalkan di siang hari. mk dia diperlakukan demikian hingga hari kiamat.
Orang yg engkau lihat dlm tungku adl para pezina. Dan yg engkau lihat di sungai mereka adl orang2 yg memakan hasil riba.
Adapun orang tua yg ada di bawah pohon adl Ibrahim ‘alaihissalam dan anak-anak yg di sekitar adl anak-anak manusia. Yang menyalakan api adl Malik penjaga neraka. Adapun rumah pertama yg engkau masuki adl tempat keumuman kaum mukminin. Adapun rumah ini adl tempat para syuhada. Aku adl Jibril dan ini adl Mikail mk angkatlah kepalamu.’
Akupun mengangkat kepala ternyata di atasku seperti awan. Kedua berkata: ‘Itu adl tempatmu.’ Aku berkata: ‘Biarkan aku memasuki rumahku.’ Kedua menjawab: ‘Sesungguh masih tersisa umurmu yg engkau belum menyempurnakannya. Sekira engkau telah menyempurnakan tentu engkau akan mendatangi tempatmu.’
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Perkataannya: “Mereka adl orang yg makan hasil riba” Ibnu Hubairah berkata: Sesungguh orang yg makan hasil riba dihukum dgn berenang di sungai merah dan dilempar dgn batu. Sebab asal riba muncul dari emas dan emas berwarna merah. Adapun malaikat yg melempar dgn batu adl isyarat bahwa tdk memberi manfaat sedikitpun kepadanya. Demikian pula riba dimana pemilik harta tersebut membayangkan bahwa harta bertambah padahal Allah melenyapkannya.”
Wallahu a’lam.

1 Salah satu transaksi dgn cara riba. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain dgn cara kredit dan barang tersebut telah diserahkan kepada si pembeli. Lalu dia membeli secara kontan dgn harga yg lbh murah dari harga kreditnya.
2 Yaitu menyibukkan diri dgn dunia di saat diwajibkan atas mereka utk berjihad.
3 dlm riwayat lain: mk kedua membawaku menuju langit.
4 Seperti alat utk mengail ujung bengkok dan runcing.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Manajemen Utang Piutang menurut Al-Qur'an

Manajemen Utang Piutang (QS. Al-Baqarah Ayat 282) :

      Sebuah Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam

Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi.



Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah;  kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat.



Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.



Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.



Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.  



Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.



Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena  utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).

Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.



Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu. (HR. Bukhari – Muslim).



Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij.



Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah   sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).



Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya : “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.



Kecenderungan yang baik mendorong manusia untuk berperilaku yang normatif. Sedangkan yang buruk menjadikan perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu (impulsif). Dengan demikian, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah dan baik-buruk. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Allah SWT. memberikan kebebasan kepada manusia untuk  memilih (free choice) dan impact bagi manusia adalah berdasarkan pilihan manusia sendiri.  



Manusia sebagai makhluk yang memiliki dua kecenderungan yang berbeda dalam diri menyebabkan kehidupan sosial mereka tidak luput dari kecemasan dan ancaman. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kepribadian manusia, dan dalam ilmu psykologi, kepribadian tersebut dijelaskan secara detail oleh Kally dengan memperkenalkan konsep anxiety (cemas) dan threat (ancaman). 



Kally melaporkan bahwa anxiety dan threat merupakan keadaan yang kritis bagi organisme. Oleh karena itu individu senantiasa berusaha melindungi diri dari anxiety dengan berbagai cara. Anxiety bukan akibat dari konstruk yang tidak sah (invalidated), tetapi merupakan akibat dari tidak dimiliki oleh manusia sebuah konstruk yang cocok dengan situasi yang dihadapi.



Sedangkan threat mempunyai daerah pecabangan yang luas, manakala individu melakukan aktivitas yang baru, dia akan mengalami kebingungan (confusion) dan ancaman, kebingungan ini memungkinkan dapat mengarahkan kepada hal-hal baru, tetapi juga mungkin akan menjadi ancaman bagi individu. Seseorang akan mengalami threat, manakala dia menyadari bahwa sistem konstruk yang ada secara drastis dipengaruhi oleh apa yang dihadapi.


Di samping anxiety dan threat, Kelly juga mengemukakan teori tentang psychopathology. Psychopathology ini meliputi konsep - konsep aggression, hostility, dan guilt. Menurut Kelly, aggression itu melibatkan elaborasi yang aktif bidang persepsi seseorang. Aggression ini memiliki dua kutub yang ekstrim, yaitu kutub inisiatif (penuh daya) dan kutub yang kaku (inertia). Lawan dari  aggression adalah hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Sedangkan guilt perasaan bersalah pada diri sendiri seseorang sehingga tidak mengherankan bagi kita ada peristiwa bunuh diri yang terjadi dalam kehidupan manusia.



Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.



Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum  Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 



Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.



Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas.



Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “ Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.



Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.



Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.

Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”. 



Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.  



Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”.Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.



Para akuntan dalam menjalankan profesi memiliki kode etik yang dinamakan dengan “kode etika profesi (code of professional ethic) yang disusun oleh organisasi profesi Certified Public Accountant (CPA) dan AICPA.

Seorang CPA mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan kejujuran bukan hanya bagi kliennya, tetapi juga kepada teman sejawat dan masyarakat secara umum. Tujuan kode etik tersebut untuk menanamkan kepercayaan terhadap mutu jasa yang diberikan oleh profesi akuntan publik.



Kode tersebut menetapkan standar minimum pelaksanaan yang diterima umum; namun seringkali dituntut hal yang melebihi ketentuan yang secara hukum sudah dapat diterima. Misalnya, kode etika profesi AICP melarang penggunaan iklan palsu yang menyesatkan dan menipu.



Seorang CPA yang melanggar kode etika dikenakan tindakan disiplin. AICPA dan CPA memiliki wewenang memberhentikan seorang pelanggar kode etik dari keanggotaan organisasi.



Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.



Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.



Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure) pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.     



Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.



Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.



Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.



Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya: “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim).



Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?.



Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.



Untuk menguak misteri Ilahi itu, penulis merujuk kepada hasil penelitian terbaru di Universitas Purdue Amerika Serikat bahwa wanita memiliki kebutuhan lebih besar untuk disentuh dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena, secara anatomi, wanita memiliki lebih banyak ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan pria.



Perbedaan kebutuhan sentuhan pada pria dan wanita itu dapat juga diteliti dari sikap masyarakat. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, wanita sudah memperkenalkan bahasa cinta yang diekspresikan melalui fisik mereka semenjak masih kecil. Hal demikian terlihat dari kebiasaan anak perempuan, sebelum ayah ke kantor, anak perempuan meminta kepada ayahnya untuk dicium pipi dan memeluknya. Ketika jalan – jalan, anak perempuan otomatis menggandeng ayahnya. Saat beranjak remaja, perempuan lebih leluasa memeluk, memegang tangan atau mencium pipi kawan sesama wanita.

Kesimpulan dari riset tersebut memperkuat terhadap teori fungsionalisme  bahwa, struktur anatomi manusia mempengaruhi kepada psykologi manusia itu sendiri.



Berdasarkan fakta ilmiah di atas serta dikaitkan kepada teori fungsionalisme, kasih sayang dan kelembutan (feminim) lebih dominan pada wanita dibanding pria (masculin) disebabkan karena kulit wanita lebih banyak memiliki ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan dengan lelaki.



Oleh sebab itu, sifat pengasih, rasa iba dan lembut pada wanita terbentuk karena kebutuhan kulit mereka untuk disentuh lebih besar. Sifat – sifat tersebut  merupakan sebuah karunia Allah SWT. bagi wanita (given).

Berdasarkan karunia inilah Allah SWT. menilai bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan kesaksian satu lelaki. Karena kesaksian adalah perbuatan hukum yang sarat dengan godaan, tekanan dan ancaman. Ini adalah sebuah bukti akan keadilan Allah SWT. kepada hamba-Nya.   



Saksi – saksi yang dihadirkan dalam transaksi utang piutang adalah para saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak, pemberi hutang dan orang yang berhutang. Berdasarkan kalimat itu bermakna bahwa, saksi disyaratkan harus adil dan jujur.



Firman Allah SWT. yang artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.



Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “ Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).



Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.

Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang  memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).



Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.



Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.



Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebab dari menuliskan utang piutang baik besar atau pun kecil akan bermanfaat sebagai alat bukti untuk menghilangkan  keragu-raguan bagi kedua belah pihak. Dan menghilangkan keraguan merupakan aspek yang lebih adil di sisi Allah SWT..


Konsep yang Allah SWT. berikan sebagaimana tersebut di atas, berdampak besar terhadap kestabilan jiwa (soul) manusia. Karena dengan konsep tersebut manusia menemukan sebuah konstruk yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Tersedia konstruk yang tepat menyebabkan hilangnya kecemasan manusia (anxiety) dari ketidaknyamanan hidup karena setiap diri manusia diilhami oleh Allah SWT. dengan dua kecenderungan yang berbeda (taqwa dan fujur).

Ketika Allah SWT. menanamkan dua kecenderungan yang berbeda dalam diri manusia, Allah SWT. sebagai khaliq juga memberikan solusi kepada manusia  untuk menghadapinya.   Di sinilah letak letak keadilan Allah SWT.   



Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya:  “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.



Tentang firman Allah SWT. tersebut, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam jual beli tunai, Allah SWT. tidak mewajibkan untuk menuliskannya. Akan tetapi, hendaklah mempersaksikan jual beli tersebut supaya lebih aman.

Dalam menafsirkan firman Allah SWT. ini, Ibnu Katsir merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. yang bersumber dari Khuzaimah (sanad) yang artinya sebagai berikut : “ Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. membeli seekor kuda dari seorang Baduwi, kemudian Rasulullah SAW.  meminta kepadanya supaya ikut ke rumah untuk dibayar harganya. Rasululllah SAW. berjalan agak cepat, sedang Baduwi perlahan-lahan, sehingga banyak orang yang menawar kudanya, karena orang-orang itu tidak mengetahui bahwa kuda itu sudah jadi dibeli oleh Rasulullah SAW. Ketika ada tawaran yang lebih tinggi dari tawaran Rasulullah SAW., Baduwi itu berseru kepada Rasulullah SAW., “Jika anda membeli kuda ini, segeralah. Jika tidak, maka akan aku jual”. Ketika Rasulullah SAW. mendengar seruan Baduwi itu, beliau segera berhenti dan berkata, “Bukankan kuda itu sudah aku beli?”, Baduwi menjawab, “Tidak, demi Allah aku belum menjual kepada mu”. Maka orang-orang berkerumun di antara Rasulullah SAW. dan Baduwi, lalu Baduwi itu berkata, “Siapakah saksinya, bahwa aku telah menjual kepada mu?”. Maka kaum muslimin yang ada di situ semuanya memperingatkan kepada Baduwi, “Celaka kamu, Rasulullah SAW. tidak pernah berdusta”. Kemudian Khuzaimah bin Tsabit datang dan mendengar tuntutan Baduwi untuk membawa saksi, maka Khuzaimah bersaksi, “Aku bersaksi, bahwa engkau telah membelinya”. Maka selesailah urusan itu. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Khuzaimah, “Dengan dasar apa bahwa kamu berani menjadi saksi?”, jawab Khuzaimah, “ Karena keteranganmu, ya Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW. menetapkan, bahwa kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang.” (HR. Ahmad) dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.



Ibnu Katsir melanjutkan, Abu Musa r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “Tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi doa mereka tidak diterima, yaitu : 1. Seseorang yang mempunyai istri yang rendah budinya tetapi tidak diceraikannya; 2. Seseorang yang menyerahkan harta kepada anak yatim sebelum baligh; 3. Seseorang yang memberi hutang kepada orang lain dan tidak mempersaksikannya”. (HR. Ibnu Murdawaih dan Hakim).

Ibnu Katsir juga menjelaskan firman Allah SWT. yang artinya : “Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan”, bahwa penulis dan saksi tidak boleh dibebani, dalam tugasnya jangan sampai dirugikan atau dipaksakan kepadanya untuk menyalahi yang sebenarnya. Karena perbuatan itu merupakan pelanggaran yang berarti fasiq dalam agama.



Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah melaporkan, “Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[26]. Wallahu a’lam.



V. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penafsiran penulis tentang ayat 282 surat Al-Baqarah tentang manajemen utang piutang. Kesimpulan yang dapat penulis sarikan adalah sebagai berikut :



I. Asbab An-Nuzul

1. Didasarkan kepada pengertian asbab an-nuzul yaitu peristiwa – peristiwa (sebab) diturunkan sebuah ayat, maka untuk ayat 282 surat Al-Baqarah adalah tidak memiliki asbab al-nuzul.

2. Akan tetapi, bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab al-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 surat Al-Baqarah.



II. Manajemen utang piutang :

1. Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan untuk itu.

2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Dan untuk kondisi sekarang pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.

3.  Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.

4.  Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.



II. Implikasi manajeman utang piutang bagi manusia

    Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
    Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan. 
    Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa. Wallahu a’lam.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Al-Imron 1:130 haramnya riba

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.

Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.

Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.

Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.

Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]

Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.

Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.

Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.

Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.

Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.

Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).

Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”

Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)

Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.

Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.

Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.

Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”

Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Al-Baqarah Ayat 282 keharaman riba

Ayat 282 Al-Quran surat  Al – Baqarah, artinya adalah sebagai berikut :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau (lemah keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[5]

Ulama sepakat, bahwa ayat-ayat Al-Quran yang turun tidak semuanya memiliki asbab an-nuzul. Berdasarkan kesepakatan ulama tersebut, pengertian asbab an-nuzul adalah sebab-sebab (peristiwa) yang melatari turun ayat-ayat Al-Quran.



Pengertian tersebut di atas penulis pahami dari pengertian asbab an-nuzul yang didefinisikan oleh kalangan ulama baik al-Zarqani[6], Manna Al-Qaththan[7] serta Dr.M.Quraisy Syihab[8].



Istilah “SEBAB” di sini, tidak sama pengertiannya dengan istilah “SEBAB” yang dikenal dalam hukum kausalitas. Karena adanya asbab an-nuzul untuk ayat-ayat tertentu lebih bersifat penampakan hubungan kebijaksanaan antara Allah SWT. sebagai pemberi petunjuk dengan manusia yang diberi petunjuk.



Mengetahui asbab an-nuzul dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran akan membantu para mufassir dalam memahami maksud dari sebuah ayat Al-Quran. Pandangan demikian maskipun redaksi yang berbeda dinyatakan juga oleh al-Syatibi, al-Wahidi, Ibn Daqiq al-Id, Ibn Taymiyah, al-Sayuti[9].



Sebagai contoh manfaat dari mengetahui asbab an-nuzul adalah menghilangkan kemusykilan dalam memahami terhadap maksud ayat. Kesukaran dalam memahami maksud ayat pernah dialami oleh Marwan bin Hakam tentang kemusykilan Marwan dalam memahami ayat 188 QS. Ali-Imran yang artinya : “ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih”[10].  

Kesukaran Marwan dari ayat itu adalah bagaimana mungkin orang yang bergembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang dipuji atas apa yang tidak diperbuatnya, lalu disiksa oleh Allah?.



Akan tetapi ketika Marwan mengetahui asbab an-nuzul ayat tersebut melalui Ibn ‘Abbas, kesukaran Marwan tersebut terjawab. Asbab an-nuzul ayat dimaksud adalah berkaitan dengan pertanyaan Rasulullah SAW. kepada orang-orang Yahudi dan mereka tidak menjawab pertanyaan Rasulullah SAW.  bahkan mereka menceritakan apa yang tidak ditanyakan Rasulullah SAW. Mereka mengira bahwa tindakan mereka itu menimbulkan respek Rasulullah SAW. (marah) kepada mereka sehingga mereka merasa gembira dengan sikap tersebut.



Kesepakatan ulama sebagaimana tersebut di atas bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul salah satunya terbukti dengan ayat 282 yang tersurat  dalam QS. Al-Baqarah. Ayat tersebut turun bukan dilatari dari suatu peristiwa sebagaimana pengertian asbab an-nuzul itu sendiri.

Tapi bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab an-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 dalam QS. Al-Baqarah. Wallahu a’lam.

 
»»  baca lanjutannya sob .. ..