AKTIVITAS EKONOMI
Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan
atau aktivitas ekonomi adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan
perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
NILAI-NILAI ISLAM
Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.
Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain.
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala
sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah
mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan?
(QS Al-Mulk [67]: 3)
Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya
untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya,
bahkan alam seluruhnya.
Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim
meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia
juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih
dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk.
Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu
menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan
keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang
pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat
dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah
kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga
terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh
sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka
berdosalah setiap anggota masyarakat.
Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman
tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan
oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang
membutuhkan:
Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).
Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala
sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan
saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang
atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya
disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan
irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha
membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau
demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk
menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman
tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari
sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi
harta kekayaan.
Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan
akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar
keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan abadi.
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan
umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau
terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang
pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau
satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan
amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada orang-orang atau kelompok tertentu.
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal
ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda
Nabi Muhammad Saw. berikut:
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari,
dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas
diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.
Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk
mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan
penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan
secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan
harga yang tidak semestinya.
Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:
Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan
barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat
kenaikan harga-harga.
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan
Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling
tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh seluruh anggota masyarakat.
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:
Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan
api (HR Abu Daud).
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa
Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.
Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu
maupun kolektif.
Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam
dalam bidang ekonomi.
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran
telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang
diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya
dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya
mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain
bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah,
karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan
segi penafsiran ayat riba.
RIBA
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab,
"Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini
disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh
tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita
hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang
dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat
dibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yang
diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas
bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara
eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau
hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,
walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif
memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan
mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan
mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang
tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun
wa la tuzlamun.
Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang
berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah
"pelipatgandaan yang berkali-kali".
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang
debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji
membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana
firman Allah:
Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan
menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih
baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]:
280).
Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang
berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba,
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap
mereka sedang
Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya
(QS Al-Baqarah [2]: 279).
Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam
persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai
transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek
perbankan.
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan
riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut
bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan
jumlah hutang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.
yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks
pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:
Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',
yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus
digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat
pada awal transaksi)
Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri orang-orang yang bertakwa.
***
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta
keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam
larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil,
eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan
atau aktivitas ekonomi adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan
perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
NILAI-NILAI ISLAM
Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.
Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain.
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala
sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah
mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan?
(QS Al-Mulk [67]: 3)
Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya
untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya,
bahkan alam seluruhnya.
Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim
meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia
juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih
dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk.
Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu
menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan
keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang
pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat
dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah
kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga
terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh
sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka
berdosalah setiap anggota masyarakat.
Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman
tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan
oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang
membutuhkan:
Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).
Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala
sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan
saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang
atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya
disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan
irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha
membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau
demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk
menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman
tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari
sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi
harta kekayaan.
Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan
akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar
keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan abadi.
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan
umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau
terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang
pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau
satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan
amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada orang-orang atau kelompok tertentu.
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal
ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda
Nabi Muhammad Saw. berikut:
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari,
dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas
diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.
Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk
mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan
penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan
secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan
harga yang tidak semestinya.
Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:
Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan
barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat
kenaikan harga-harga.
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan
Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling
tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh seluruh anggota masyarakat.
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:
Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan
api (HR Abu Daud).
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa
Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.
Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu
maupun kolektif.
Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam
dalam bidang ekonomi.
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran
telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang
diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya
dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya
mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain
bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah,
karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan
segi penafsiran ayat riba.
RIBA
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab,
"Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini
disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh
tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita
hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang
dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat
dibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yang
diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas
bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara
eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau
hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,
walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif
memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan
mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan
mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang
tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun
wa la tuzlamun.
Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang
berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah
"pelipatgandaan yang berkali-kali".
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang
debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji
membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana
firman Allah:
Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan
menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih
baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]:
280).
Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang
berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba,
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap
mereka sedang
Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya
(QS Al-Baqarah [2]: 279).
Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam
persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai
transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek
perbankan.
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan
riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut
bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan
jumlah hutang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.
yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks
pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:
Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',
yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus
digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat
pada awal transaksi)
Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri orang-orang yang bertakwa.
***
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta
keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam
larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil,
eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar