Pengertian Mu'amalah

Definisi Muamalah
Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).

Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan “ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:

1. Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.

2. Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan kepada maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.

Oleh karena itu sebagian ahli fikih membagi fikih menjadi empat kategori:
a. Fikih Ibadah
b. Fikih Muamalah
c. Fikih Ankihat (nikah)
d. Hukum-hukum kriminal dan peradilan.

Yang menjadi topik pembahasan kita adalah “fikih muamalah” tentang pertukaran harta benda.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Masalah Bank Syari'ah

Problematik-problematika yang ada sekarang ini...

prospek perbankan syariah kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah. Sementara di tingkat kecamatan, kita pun memiliki puluhan BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Fenomena perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan. Meskipun kalau dilihat dari volume usaha perbankan syariah jika dibandingkan dengan total keseluruhan volume usaha perbankan nasional, maka nilainya masih relatif kecil, yaitu sebesar 2,5 trilliun rupiah. Sedangkan total volume usaha perbankan nasional secara keseluruhan mencapai angka 1087 trilliun rupiah. Kalau kita persentasekan, maka volume usaha perbankan syariah baru mencapai angka 0,23 % (Sumber : Biro Perbankan Syariah BI). Walau demikian, prospek perbankan syariah kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah. Sementara di tingkat kecamatan, kita pun memiliki puluhan BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Permasalahan yang Dihadapi Perbankan Islam Sesungguhnya jika mau jujur, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh perbankan syariah. Adapun beberapa problematika yang muncul seiring dengan berkembangnya industri perbankan syariah dapat kita kategorikan pada beberapa masalah yang diantaranya adalah : Pertama, adalah kurangnya deposito. Perbankan yang beroperasi secara syariah tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang ingin mendapat keuntungannya tanpa menanggung resiko apapun. Karena sesuai syariah, berbagi keuntungan tidak dibenarkan tanpa berbagi resiko. Jenis deposan seperti ini pada umumnya lebih cenderung untuk mendepositokan uangnya pada bank-bank yang beroperasi dengan system bunga / riba atau pada pasar modal (stock market). Yang kedua, masalah yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah likuiditas berlebihan (excessive liquidity). Tentu saja bank Islam akan lebih cenderung mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai dengan simpanannya bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ini dilakukan untuk mengantisipasi penarikan rekening tabungan yang dilakukan nasabah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian tidak semua nasabah bank Islam yang potensial menyetujui meminjamkan uangnya berdasarkan prinsip musyarakah atau kemitraan. Pada umumnya nasabah lebih senang meminjam dana atas dasar mudarabah, atau bahkan meminjam dari bank konvensional dengan system bunga. Sebaliknya bank Islam akan lebih senang --dengan alasan resiko-- berinvestasi atas dasar musyarakah ketimbang mudarabah, karena dalam mudarabah, jika suatu usaha mengalami kerugian maka bank akan menanggung beban kerugian yang lebih besar ketimbang partnernya. Sikap konservatif investor dan bank tersebut akan menimbulkan likuiditas berlebihan. Bank Islam pun cenderung menahan lebih banyak cadangannya (baik pada kasnya sendiri maupun bank sentral) sebagai perlindungan atas kerugian dan menjaga kepuasan para nasabah potensialnya. Masalah yang ketiga, adalah problematika biaya dan profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya bank Islam harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun terhadap simpanan. Masalah keempat yang dihadapi selanjutnya adalah masalah pendanaan pinjaman untuk konsumsi. Bank Islam terkadang kesulitan untuk memberi pinjaman yang bertujuan konsumtif. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana yang dapat dipinjamkan tanpa memperoleh keuntungan. Kemudian bank-bank Islam yang ada saat ini masih kesulitan untuk mengumpulkan dana zakat, infak, maupun shadaqah pada skala yang besar, padahal dana zakat ini merupakan potensi yang sangat luar biasa, dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif. Masalah yang kelima adalah masih minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu Dewan Pengawas Syariah harus berperan aktif didalam mengawasi segala aktivitas usaha yang dilakukan bank Islam. Kemudian perlu ditingkatkan berbagai upaya sosialisasi secara terus menerus mengenai system perbankan yang sesuai dengan syariah. Dan masalah keenam yang dihadapi kalangan perbankan syariah adalah belum maksimalnya institusi undang-undang yang menjadi payung hukum bagi keseluruhan aktivitas perbankan Islam. Karena itu kita perlu mendukung secara penuh upaya untuk membuat RUU Perbankan Syariah yang direncanakan akan selesai pada akhir 2003 ini. Bahkan sudah saatnya kita mengembangkan wacana bank sentral syariah sebagai payung bersama bagi seluruh bank yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Bagaimanapun juga bank-bank syariah membutuhkan institusi bank sentral tersendiri, yang terpisah dengan bank sentral yang sudah ada. Karena tidak mungkin dalam suatu institusi ada dua system yang memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, akibatnya akan selalu ada permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat perkembangan salah satunya. Dalam kasus ini, bisa jadi yang terhambat adalah perkembangan perbankan syariah. Wallahu 'alam bi ash-shawab

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Sejarah singkat Bank Syari'ah

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Qodho puasa ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebelumnya kita telah membahas "Membayar Qodho' Puasa Ramadhan". Untuk saat ini rumaysho.com akan melanjutkan dengan bahasan utang qodho' puasa yang belum dibayar hingga mati. Apakah seperti ini harus dibayarkan oleh keluarganya? Pembahasan ini insya Allah bermanfaat dan akan memberikan jawaban menarik.

Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa

Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan.

Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ - قَالَ - فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan”

Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”

Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.

Rincian Qodho’ Puasa bagi Orang yang Meninggal Dunia

Pertama: Jika seseorang tertimpa sakit yang tidak kunjung sembuh, maka ia tidak ada kewajiban puasa dan tidak ada qodho’ puasa. Yang ia lakukan hanyalah mengeluarkan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ia tinggalkan. Ia boleh jadi melakukannya ketika ia hidup. Jika memang belum ditunaikan, ahli waris yang nanti menunaikannya ketika ia telah meninggal dunia.

Kedua: Adapun jika seseorang tertimpa sakit yang diharapkan sembuhnya, maka ia tidak ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan karena sakit yang ia derita, namun ia punya kewajiban untuk qodho’ puasa. Jika ternyata ia tidak mampu menunaikan qodho’ karena sakitnya terus menerus hingga akhirnya meninggal dunia, maka ia tidak punya kewajiban qodho’ puasa dan juga tidak ada kewajiban mengeluarkan fidyah. Ahli warisnya pun tidak diperintahkan untuk membayar qodho’ puasanya dan juga tidak diperintahkan mengeluarkan fidyah.

Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak meremehkan dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada kewajiban qodho’ dan juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan makan pada orang miskin).”

Ketiga: Adapun jika seseorang itu sakit dan penyakitnya bisa diharapkan sembuh dan setelah sembuh ia mampu untuk menunaikan qodho’nya, namun ia meremehkan sehingga qodho’ tersebut tidak ditunaikan sampai ia meninggal dunia; maka orang semacam ini yang disunnahkan untuk dibayar qodho’ puasanya selama beberapa hari oleh ahli warisnya. Jika ahli waris tidak membayar qodho’nya, maka bisa digantikan dengan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Dari penjelasan ini, maka maksud hadits, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya” adalah barangsiapa yang tidak puasa karena udzur (seperti haidh, safar atau sakit yang bisa diharapkan sembuhnya), lantas ia pun mampu menunaikan qodho’ puasanya namun ia tidak melakukannya, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk melunasi utang puasanya.

referensi

Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93.

Penjelasan Syaikh Sholih Al Munajid dalam Fatawanya Al Islam Sual wa Jawab no. 81030. Lihat pula Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Qodho puasa ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebelumnya kita telah membahas "Membayar Qodho' Puasa Ramadhan". Untuk saat ini rumaysho.com akan melanjutkan dengan bahasan utang qodho' puasa yang belum dibayar hingga mati. Apakah seperti ini harus dibayarkan oleh keluarganya? Pembahasan ini insya Allah bermanfaat dan akan memberikan jawaban menarik.

Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa

Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan.

Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ - قَالَ - فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan”

Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”

Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.

Rincian Qodho’ Puasa bagi Orang yang Meninggal Dunia

Pertama: Jika seseorang tertimpa sakit yang tidak kunjung sembuh, maka ia tidak ada kewajiban puasa dan tidak ada qodho’ puasa. Yang ia lakukan hanyalah mengeluarkan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ia tinggalkan. Ia boleh jadi melakukannya ketika ia hidup. Jika memang belum ditunaikan, ahli waris yang nanti menunaikannya ketika ia telah meninggal dunia.

Kedua: Adapun jika seseorang tertimpa sakit yang diharapkan sembuhnya, maka ia tidak ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan karena sakit yang ia derita, namun ia punya kewajiban untuk qodho’ puasa. Jika ternyata ia tidak mampu menunaikan qodho’ karena sakitnya terus menerus hingga akhirnya meninggal dunia, maka ia tidak punya kewajiban qodho’ puasa dan juga tidak ada kewajiban mengeluarkan fidyah. Ahli warisnya pun tidak diperintahkan untuk membayar qodho’ puasanya dan juga tidak diperintahkan mengeluarkan fidyah.

Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak meremehkan dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada kewajiban qodho’ dan juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan makan pada orang miskin).”

Ketiga: Adapun jika seseorang itu sakit dan penyakitnya bisa diharapkan sembuh dan setelah sembuh ia mampu untuk menunaikan qodho’nya, namun ia meremehkan sehingga qodho’ tersebut tidak ditunaikan sampai ia meninggal dunia; maka orang semacam ini yang disunnahkan untuk dibayar qodho’ puasanya selama beberapa hari oleh ahli warisnya. Jika ahli waris tidak membayar qodho’nya, maka bisa digantikan dengan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Dari penjelasan ini, maka maksud hadits, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya” adalah barangsiapa yang tidak puasa karena udzur (seperti haidh, safar atau sakit yang bisa diharapkan sembuhnya), lantas ia pun mampu menunaikan qodho’ puasanya namun ia tidak melakukannya, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk melunasi utang puasanya.

referensi

Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93.

Penjelasan Syaikh Sholih Al Munajid dalam Fatawanya Al Islam Sual wa Jawab no. 81030. Lihat pula Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.

»»  baca lanjutannya sob .. ..