Hukum Islam di Indonesia Era Reformasi


Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam. Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
Wallahu a’lam.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Hukum Islam di Indonesia Orde baru vs Orde lama

Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno - bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Hukum Islam di Indonesia pasca Merdeka

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Hukum Islam di Indonesia feat Jepang

Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
***shared for studie Islam
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Hukum Islam di Indonesia feat Jepang

Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
***shared for studie Islam
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Hukum Islam di Indonesia feat Belanda

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
**shared for studies
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Sekilas tentang Filsafat Umum


RASIONALISME RENE DESCARTES
Disebut aliran rasionalisme karena aliran ini mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan ini orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan relistas yang ada si luar rasio.
Dalam aliran rasionalisme ada dua masalah yang keduanya diwarisi dari descartes ; masalah substansi dan masalah hubungan antar jiwa dengan tubuh.

Metode
Cogito Ergo Sum: saya yang sedang menyaksikan, saya ada (jika saya berpikir jadi, saya ada), dan yang dimaksud dengan berpikir disini adalah menyadari, jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan.

Metode descartes dalam memperoleh hasil yang shahih:
1. Tidak menerima sesuatupun sebagai kebenaran.
2. Memecahkan setiap permasalahan sampai sebanyak mungkin.
3. Membimbing pikiran secara teratur.
4. Melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal yang sulit, serta perhitungan-perhitungan yang sempurna dan menyeluruh.

Substansi
Ia menyimpulkan bahwa selain dari Allah itu ada dua substansi: jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan.

Manusia
Ia memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi, jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.


EMPIRISME THOMAS HOBBES
Empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan baik lahiriah maupun batiniah yang menyangkut pribadi manusia.
Hobbes mengatakan bahwasannya pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.
Filasafat meterialisme yang dianut hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu itu bersifat bendawi. Yang dimaksud bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan kita. Realitas yang bendawi yaitu yaitu yang tidak tergantung dengan gagasan kita, terhitung didalam gerak itu.

Manusia
Segala sesuatu yang ada pada diri manusiapun dapat diterangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian alamiah, yaitu secara mekanis, manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnnya bekerja.

Jiwa
Ajaran jiwa itupun sejalan dengan ajaran filsafat dasarnya, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks dari proses-proses mekanis di dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.

Teori pengenalan
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan bagi dia diperoleh karena pengalaman. Penglaman merupakan awal dari pengetahuan. Yang dimaksud pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan didalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengaharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.

JHON LOCKE
Menurut dia pengalaman itu ada dua : pengalaman lahiriah dan pengalan bathiniah ( ia mengatakan mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai kertas putih) kedua sumber itu menghasilkan ide-ide yang tunggal, roh manusia bersifat sama sekali pasif dalam menerima ide-ide tersebut namun demikian roh mempunyai aktifitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan.

GEORGE BERKELEY
Sebagai penganut empirisme, berkeley mengatakan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Jika locke masih menerima substansi-substansi diluar kita, tapi ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-subtansi material. Yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati dengan kata lain yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja. Sebagai contoh: sebagaimana dalam bioskop gambar-gambar film pada layar putih dilihat par apenonton sebagai benda-benda yang real (hidup).


KRITISME IMMANUEL KANT
Filsafat ini memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahan manusia. Isi utama aliran imanuel kant tentang : teori pengetahuan, etika dan eksestika. Gagasan ini muncul karena adannya pertanyaan–pertanyaan mendasar yang timbul dalam pikiran Imanuel Kant sebagai berikut:
1. Apa yang dapat saya ketahui?
2. Apa yang harus saya lakukan?
3. Apa yang boleh saya harapkan?

Ciri-ciri kritisme dapat disimpulkan dalam tiga hal :
1. Menganggap bahwa pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan obyek;
2. Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu: rasio hanyalah mampu menjangkau gejala atau fenomena saja;
3. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

Tujuan filsafat Kant
Bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sepihak empirisme.
Menurut Kant syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :
1. Bersifat umum dan bersifat mutlak
2. Memberi pengetahuan yang baru

Kritik atas rasio murni
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan apriori dalam pengenalan berarti lepas dari segala pengalaman. Empirisme menekan kan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut kant baik rasionalisme maupun empirisme keduanya berat sebelah. Ia berusaha untuk menjelaskan bahwa pengenalan menusia merupakan panduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.

Positivesme
Positivesme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama katolik. Karya utamanya A. Comte adalah Cours De Philoshophie Positive, yaitu “kursus tentang filsafat positif” (1830-1842).
Dalam karyanya inilah Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan.
Positivisme berasal dari kata positif”. Kata positif di sini sama dengan faktualnya, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta yang ada . Dengan demikian maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan
Titik tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan pengetahuan manusia, baik perorangan maupun umat manusia secara keseluruhan
Ketiga zaman itu adalah zaman teologis.zaman metafisis dan zaman ilmiah atau positif.
Pada zaman teologis menusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam tedapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga periode. Ketiga periode tersebut adalah sebaga berikut:
a. Animisme: pada tarap ini merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda sendiri dianggap mempunyai jiwa.
b. Politeisme: taraf ini merupakan perkembangan dari taraf pertama dimana pada taraf ini manusia percaya pada dewa yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar dan sebagainya.
c. Monoteisme: taraf ini lebih tinggi dari taraf pertama dan kedua, karena taraf ini manusia hana memandang satu Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu.
Zaman Metafisis, Pada zaman ini kuasa-kuasa adikdrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-pinsip yang abstrak, seperti misalnya”kodrat” dan “penyebab”.metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
Zaman positif, Zaman ini dianggap comte zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya karena pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta: manusia membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi
Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Altruisme merupakan ajaran Comte yang merupakan kelanjutan dari ajaran tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruan masyarakat.
Jadi altruisme” bukan sekedar lawan “egoisme”.
Sehubungan dengan altruismenya ini Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. KeIlahian baru dari positivisme ini disebut le Grand Etre, “Maha Makhluk”.

Materialisme
Pembicaraan naturalisme menjadi penting karemna materalisme merupakan bentuk natulalisme. Kata natur atau alam yang dipakai dalam bentuk filsafat bukan hanya terbatas pada alam lautan, gunung-gunung atau kehidupan liar.
Naturalisme adalah teori yang menerima natura sebagai keseluruhan relitas. Istilah natura telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti.

Materialisme
Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara, diantaranya :
1. materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom meteri yang berada sendiri dan bergerak maerupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran termasuk didalamnya segala proses psisikal.
2. Bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.
Materialisme modern mengatakan bahwa alam itu merupakan kesatuan matesian yang tak terbatas dan juga mengatakan bahwasannya materi itu ada sebelum jiwa dan dunia material adalah yang pertama dan pemikiran dunia adalah yang kedua.
Materialisme dapat mengambil salah satu dari dua bentuk pertama: mekanisme, atau materialisme mekanik dengan tekanan kepada sains alam dan yang kedua: materialisme dialetik yang merupakan filsafat resmi Rusia.
Materialisme mekanik

Daya tarik materialisme mekanik :
1. Materialisme sebagai teori dan metoda telah memberikan hasil-hasil yang besar dalam sains alam.
2. Materialisme dengan bentuknya yang meliputi banyak hal, nampaknya telah membebaska manusia dari tanggung jawab pribadi dan moral.

Marxism (karl Marx 1818-1883)
Sejarah marxisme menunjukkan bahwa doktrin-doktrin tersebut berkembang hampir satu setengah abad, paling tidak di tigga kebudayaan yang berbeda : Jerman. Rusia, Cina. Dan menurut Bochenki sedikitnya ada 6 istilah yang membedakan marxisme yang satu dengan yang lainya :
1. Adalah pemikiran karl marx sendiri yang disusun oleh para spesialis yang biasa disebut Marxologist
2. Marxisme klasik Jerman yang ditemukan oleh F. Engels dan dikembangkan oleh sejumlah socialist jerman : antara karl kautsy seorang anti komunis.
3. Marxisme klasik Jerman yang dikembangkan oleh lenin dengan ide-idenya sendiri sehingga membentk filsafat yang khas.
4. Marxisme leninisme yaitu doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh komunis rusia dari pemikiran lenin.
5. Marxisme dinegara-negara komunis yang muncul setelah perang dunia II.
6. Variasi marxisme tersebut biasanya biasanya tersebut biasanya disebut Revisionisme atau neo-Marxisme.
3 dalil dasar yang disepakati bersama:
1. Teori materialisme historis
2. Perjuangan kelas dan
3. Teori nilai dan teori nilai lebih.

3 sumber filsafat Karl Mark
1. Filsafat klasik
2. Sosialis Perancis
3. Ekonomi Inggris

IDIALISME
Kata Idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda, Idealis berarti (1) seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika agma serta menghayatinya. (2) orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Namun demikian, dalam kesempatan ini selain membahas pembahasan utama yaitu idealisme Hegel, kiranya ada baik terlebih dahulu sedikit disinggung idealisme subjektif, idealis objektif, personalisme.
Pokok-pokok Pikiran(filsafat) Hegel
• Rasio, Ide, Roh
• Dialektika

PRAGMATISME
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibat yang bermanfa’at secara praktis.
Wiliam james tokoh pragmatisme dari New York mengatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari segala akal yang mengenal.
John Dewey tokoh pragmatisme mengatakan filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan menusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Intrumentalisme ialah dimaksudkan: suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang megenai konsekwensi-konsekwensi di masa depan.

EVOLUSIONISME
Evolusionisme atau suatu interpretasi tentang bagaimana proses perkembangan segala bentuk kehidupan baik evolusi dalam arti biologi mapun evolusi dalam rti evolusi organik.
Darwinisme adalah suatu pejelasan bagaimana suatu jenis dapat muncul dari jenis yang lain.
Menurut Bertrald Russel teori Darwin terdiri dari dua bagian
1. Adalah doktrin tentang evolusi yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang beraneka ragam itu telah tercipta dan berkembang secara berangsur-angsur dari suatu tingkat asal yang rendah.
2. Adalah tentang perjuangan hidup dan kelangsungan hidup bagi yang paling sesuai atau struggle for life and the fittest.

Kesalah tafsiran tentang manusia
1. Untuk memahami evolusi kita harus menjauhkan diri dari kesalahan dalam menafsirkan tentang manusia yangsering terjadi
2. Teori evolusi tidak berarti atau menganduung arti bahwa semua bentuk yang hidup cenderung mengarah kepada manusia atau bahwa jenis yang ada itu tentu akan menjadi jenis lain.
3. Evolusi tidak sama dengan darwinisme.
4. Teori evolusi bukanlah keterangan tentang watak dan asal dari kehidupan itu sendiri.
5. Teori evolusi tidak seharusnya mengingkari agama atau kepercayaan kepada Tuhan.
»»  baca lanjutannya sob .. ..