Bank Syari'ah
1. Regulasi Perbankan Indonesia dan Kedudukan Perbankan Islam di Dalamnya
1. Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan. UU ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang nantinya akan berhubungan dengan Perbankan Syariah.
1. Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Periode ini Bank-bank sangat tergantung pada likuiditas BI sehingga tidak ada persaingan antara bank yang ada, sehingga bunga bank menjadi tidak menarik bagi nasabah, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Deregulasi yang membelenggu penetapan tingkat bunga, maka timbulah kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingakat bunga 0%, yang berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni beradasarkan prinsip bagi hasil.
1. Periode PAKTO 1988
PAKTO(Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober) yang dikeluarkan pada tanggal 27 Oktober 1988 digunakan untuk memobilisasi dana masyarakat yang berisi tentang pendirian bank baru selain bank yang telah ada.
Setelah PAKTO dikeluarkan mulailah berdiri BPRS, yang pertama kali berdiri adalah Berkah Amal Sejahtera, Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian disusul BPRS lsin yang muncul pada tahun yang sama di Bandung, dan 1 di Aceh.
1. Periode UU No. 7 Tahun 1992
Titik terang pendirian lembaga bank dengan sistem syariah telah muncul sejak tahun 1990-an setelah adanya lokakarya ulama di Cisarua dan dibahas selanjutnya pada MUNAS MUI ke IV di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan MUNAS tersebut Bank Muamalat menjadi tim kerja perbankan MUI. Akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991, dan tanggal 1 Mei 1992 BMI mulai beroperasi.
Dalam UU No. 7 Pasal 6 dan Pasal 13 huruf C, menyatakan bahwa salah satu usaha bank umum dan BPR adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil.
1. Periode UU No. 10 Tahun 1998
Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 tantang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Pada UU ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan Syariah di Indonesia.
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha beradasarkan prinsip kemitraan.
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan.
1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Bank Syariah
Menurut UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat 3 secara jelas dinyatakan hakekat Bank Syariah adalah:“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Hal ini sekaligus menjelaskan hakekat dari fungsi keberadaan bank sebagai intermediasi.
Dalam salah satu AD/ART suatu bank di sebutkan bahwa tujuan umum bank syariah didirikan adalah menjadi bank terpercaya pilihan mitra usaha dengan mengedepankan prinsip-prinsip syariah. Untuk mencapai tujuan itu, bank syariah menetapkan beberapa target, yaitu: (1) Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan, (2) mengutamakan penghimpunan dana consumer dan penyaluran pembiayaan pada segmen UMKM, (3) merekrut dan mengembangkan pegawai professional dalam lingkungan kerja yan sehat, (4)mengembangkan nilai-nilai syariah universal dan (5)Menyenggalarakan operasional bank sesuai standar perbankan yang sehat.
Yang menjadi landasan bank syariah menjalankan usahanya adalah: (1) Al Qur’an, (2), Al Hadis, (3) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992, (4) SK DIR BI No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah Tanggal 12 Mei 1999. Lahirnya Undang-undang No. 10 tahun 1998, tentang perubahaan atas undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, pada bulan November 1998 telah member peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Undang-undang tersebut memungkinkan bank beroperasi sepenuhnya secara syariah atau dengan membuka cabang khusus syariah.
Aturan-aturan terkait dengan Bank Syariah[2]
1. Bentuk hukum
Menurut ketentuan pasal 2 SK DIR BI 32/34/1999, bentuk hukum suatu Bank Umum Syariah dapat berupa: (1) Perseroan Terbatas, (2) Koperasi, atau (3) perusahaan daerah
1. Izin Pendirian
Bank umum syariah hanya boleh menjalankan ushanya setelah mendapatkan izin dari pihak direksi Bank Indonesia. Demikian ditentukan dalam pasal 3 ayat 1 SK DIR BI No.l 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999.
1. Pendiri
Menurut pasal 3 ayat 2 SK DIR BI 32/34/1999 yang dapat mendirikan Bank Umum Syraiah hanyalah: (1) warga Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau (2) warga Negara Indonesia dan atau bdan hukum Indonesia dengan warga asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
1. Modal
Untuk dapat mendirikan suatu BUS jumlah modal yang disetor sekurang-kurangnya sebesar 3 triliun rupiah. Demikian ditentukan oleh pasal 4 ayat 1 SK DIR Bank Indonesia 32/34/1999.
Bank Syariah, BPRS dan IDB
Dalam pengertian kita dapat melihat perbedaan Bank Syariah, BPRS dan IDB. Telah disebutk sebelumnya bahwa pengertian Bank Syariah adalah Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPRS adalah Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedang IDB adalah Lembaga keuangan yang memberikan bantuan finansial untuk pembangunan infrasturktur (Bank Islam) negara-negara Islam di seluruh dunia.
Dari sisi jumlah modal disetor sebagai syarat untuk menjalankan usahanya Bank Syariah mematok angkanya sebesar 3 triliun rupiah sedang BPRS sebesar 2 triliun rupiah.
1. Prospek Bank Syariah di Indonesia
Untuk mengetahui prospek Bank Syariah di Indonesia perlu diketahui apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Metode analisa ini lumrah disebut analisis SWOT.
1. Kekuatan Bank Syariah
Komitmen dan dukungan dari otoritas perbankan Indonesia dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 tetang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, menunjukkan pengakuan BI akan keberadaan Bank Syariah dan Bank Konvesional. Tak lama setelah itu BI membentuk Komite Pengarah, Komite Ahli, dan Komite Kerja Pengembangan Perbankan Islam sebagai wujud dukungan real BI.
Pada konferensi kedua menteri-menteri luar negeri Negara-negara Muslim diseluruh dunia bulan Desember tahun 1970 di Karachi, Pakistan, sepakat untuk mendirikian Islamic Development Bank yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 di mana Indonesia menjadi salah satu Negara anggota pendiri
1. Kelemahan Bank Syariah
Dewasa ini, masih terdapatnya berbagai kontroversi terhadap keberadaaan dan sistem operasional Bank Syariah, diantaranya: Kontroversi tentang bunga bank, penghitungan bagi hasil, system akuntasi berbasis kas dan akrual dan istilah-istilah yang tidak lazim digunakan oleh bank pada umumnya.
Hasil survey yang dilakukan BI di lima Provinsi menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat tentang produk dan manfaat Perbankan Syariah, hal ini menunjukkan bahwa Bank Syariah belum tersosialisasi dengan baik.
Kelemahan selanjutnya adalah mengenai system bagi hasil pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah. Hal ini sangat tergantung terhadapa kejujuran para nasabah. BS di Indonesia masih banyak memerlukan perangkat baik lunak maupun kasar untuk setidaknya menyamai system operasional bank konvensional.
1. Peluang Bank Syariah
1. Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama
Penduduk RI mayoritas beragama Islam, hal tersebut memberikan peluang dan prospek yang sangat besar bagi kemajuan BS.
1. Peluang hukum untuk berkembangnya BS
UU 1945 setelah Amandemen Pasal 33 Ayat 1 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip BS yaitu Kebersamaan dan Kekeluargaan.
UU No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 memberikan peluang lain bagi BS untuk tumbuh dan berkembang.
1. Peluang kebutuhan alternative system ekonomi
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, telah terjadi 2 kali krisis ekonomi global. Yang pertama pada tahun 1997 dan yang kedua terjadi pada tahun 2008 silam yang meresahkan masyarakat dan ekonomi dunia. Hal ini disinyalir karena system ekonomi mutakhir tidak mampu menghandle kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. System ekonomi syariah muncul sebagai ekonomi alternative juga sebagai peluang yang signifikan bagi perbankan syariah.
1. Ancaman terhadap Bank Syariah
Ancaman yang paling berbahaya adalah ketika BS dikaitkan dengan fanatisme agama.
Akan ada pihak-pihak yang menghalangi berkembangnya Bank Islam terkait masalah image label Islaml. Kemudian selain itu masalah intern yang dihadapi oleh umat Islam adalah ketika mereka mangalami kemerosotan iman karena tergoda oleh kebutuhan materi.
Dengan mengenali Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman bagi system operasional BS ini, diharapkan para cendikiawan mampu mengoptimalisasikan kegiatan Bank Syariah.
***diedit oleh annas syams dari buku :
Ahman, Eeng. Ekonomi Untuk SMU Kelas III, Erlangga, Jakrta, 1994
Karim, A. Ariwarman, Bank Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2004
Wirdyaningsih dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Badan penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2005
Sjahdeni, Sutan Remy, Perbankan Islam: dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 19