Emansipasi Wanita

HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA

Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah al-Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:

“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).

Ijma shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah al-Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah al-Islamiyyah, bukanlah sistem Islam. Menurut Hizbut tahrir, haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!.

HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA: BUKANLAH PERKARA KHILAFIYYAH.

Sistem kenegaraan Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Seluruh ‘ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-jaami’ li Ahkam Al-quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa, “Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah).

Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw,

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)

Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar Hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi diroyah; dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara.

Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persi yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian –pengangkatan wanita menjadi raja–, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qoum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”.

Adapun kisah Ratu Balqis dalam surat al-Naml, tidak ada hubungan sama sekali dengan masalah ini. Fragmen sejarah Ratu Bilqis tidak mempunyai implikasi hukum sama sekali. Itu hanya fragmen cerita ketika masa Nabi Sulaiman as. Tentu syari’at nabi terdahulu tidaklah berlaku bagi kita. Berdasar kaidah ushul syar’u man qablanaa laisa syar’an lanaa (syari’at sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita). sehingga syari’at nabi-nabi terdahulu bukanlah dalil syara’ bagi kita—ummat Muhammad saw. Adapun sementara pihak yang menyatakan bahwa Allah memuji dia, hal itu sama sekali tidak benar, sebab kalau kita melakukan tadabbur terhadap al-Qur’an tentang kisan Bilqis; tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa Allah swt memuji kearifan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis yang penyembah matahari, penyuap itu –sebelum diperisteri Nabi Sulaiman.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Ratu Bilqis –ketika masih menjadi penyembah matahari, dan penyogok itu, layak dijadikan panutan bagi kaum muslim? Jawabnya, tegas, tidak!. Walhasil, kisah Ratu Balqis tidak bisa digunakan dalil untuk mengabsahkan kepemimpinan wanita dalam negara.

Demikian juga, munculnya pemimpin perempuan dari Dinasti Mamalik bernama Ratu Syajaratuddur, tidak juga bisa digunakan sebagai dalil. Sebab fakta sejarah kaum muslim bukanlah dalil syara’. Fakta sejarah kaum muslim sebenarnya merupakan penerapan hukum syara’ dalam kehidupan. Tentu bisa saja terjadi penyimpangan sesuai dengan kadar keterikatan mereka—pada waktu sejarah tersebut ditulis—terhadap hukum syara’. Tentu, kaum muslim tidak bisa menghalalkan khamr, hanya dengan bersandar pada kenyataan sejarah. Semisal, pada masa kekhilafahan Islam, ada sebagian kaum muslim di negeri Islam yang melakukan maksiyyah. Misalnya, meminum khamr. Lalu, apakah dengan dalil historis, kaum muslim boleh meminum khamr? Tentu tidak. Sebab haram atau halalnya khamr harus merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, bukan bersandar kepada konteks sejarah.

Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang kufur HAM, dan demokrasi, pemasungan hak wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Cukuplah al-Quran dan Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang muttaqi keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang muttaqi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan al-Quran dan Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata!

Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya,

“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (An-Nisaa’ [4]:32)

Demikianlah, dengan penelaahan yang mendalam terhadap dalil-dalil syara’; dan dengan mendudukkan isu-isu yang dilontarkan kafir—musuh Allah—untuk menciptakan keraguan terhadap Islam, dapat disimpulkan bahwa wanita memang diharamkan memegang tampuk kekuasaan negara. Selanjutnya, sikap yang seharusnya dimiliki oleh mukmin sejati adalah ia tidak akan pernah memilah-milah atau menimbang-nimbang ketetapan Allah SWT: dalam al-Quran maupun Sunnah. Mereka akan tunduk dan patuh dengan ketetapan Allah SWT.

ringkasan >>>

Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.

Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan hawa nafsu mereka. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyahlah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslim dapat dipecahkan.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Penentuan awal dan akhir Puasa

Penentuan Dimulai Dan Berakhirnya Bulan Puasa

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma, dia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "jika kalian melihatnya (bulan sabit yang mengawali bulan Ramadhan-red) maka berpuasalah*, dan jika kalian melihatnya (bulan sabit yang mengawali bulan Syawwal-red) maka berbukalah; jika kalian dikabuti oleh awan (sehingga tidak bisa/terhalangi melihatnya-red) maka perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan bulan yang berkabut awan tersebut, yakni bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari-red)".
* dengan meniatkan puasa pada malam harinya untuk esok harinya

TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL

Hadits ini ditakhrij (dikeluarkan) oleh Imam al-Bukhari dengan lafazh diatas, Imam Muslim, an-Nasai dan Ibnu Majah.

MAKNA HADITS SECARA GLOBAL

Hukum-Hukum syara' ini dibangun atas al-Ashl (pondasi, pokok, landasan) sehingga tidak boleh beralih darinya kecuali dengan secara yakin.

Diantaranya; bahwa hukum asal dalam penentuan bulan Ramadhan adalah masih berjalannya bulan Sya'ban dan terbebasnya dzimmah (tanggungan dalam diri) dari kewajiban berpuasa, selama bulan Sya'ban tersebut belum sempurna tiga puluh hari sehingga diketahui telah berakhir atau melihat bulan sabit sebagai pertanda dimulainya bulan Ramadhan sehingga diketahui ia telah masuk.

Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengaitkan berlakunya hukum puasa dan tidaknya di bulan Ramadhan dengan (dapat atau tidaknya) melihat (ru'yah) bulan sabit. Jika disana terdapat kabut awan, salju atau semisalnya maka beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam memerintahkan agar mereka memperkirakan hitungannya; yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh, kemudian baru mereka memulai puasa. Hal ini dilakukan berdasarkan kaidah yang berbunyi: "hukum asal sesuatu adalah masih berlaku/berjalannya statusnya yang terdahulu (yang sudah berlaku/berjalan) sebagaimana adanya".

PERBEDAAN PARA ULAMA

SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT

Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena terjadinya perbedaan penafsiran terhadap makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam; (faqduruu lahu) apakah maknanya "perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari) " atau "persempitlah (ciutkan hitungan) bulan Sya'ban dan perkirakanlah (hitunglah) menjadi dua puluh sembilan hari saja".

Diantara implikasi dari adanya perbedaan diatas adalah timbulnya perbedaan para ulama mengenai beberapa masalah:

A. Masalah berpuasa pada tanggal 30 bulan Sya'ban; bila pada saat itu bulan sabit tidak muncul/kelihatan karena diselimuti oleh kabut awan, salju atau hal lainnya yang tidak memungkinkan untuk melihatnya (ru'yah). Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal itu:

Wajib berpuasa pada hari itu sebagai bentuk zhann (sangkaan; yang persentase kemungkinan benarnya adalah lebih dari 50%-red) dan tindakan ihtiath (preventif) ; ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab Imam Ahmad (pendapat ini dianggap sebagai mufradaat Imam Ahmad [satu-satunya pendapat di kalangan para imam mazhab yang empat] dan juga pendapat yang diriwayatkan dari sejumlah para shahabat, diantaranya; Abu Hurairah, Ibnu 'Umar, 'Aisyah dan Asma'.
Dalil :
Berdasarkan pengertian sabda nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ; (faqduruu lahu) yang ditafsirkan dengan makna persempitlah (ciutkan hitungan) bulan Sya'ban dan perkirakanlah (hitunglah) ia menjadi dua puluh sembilan hari saja.

Tidak wajib berpuasa pada hari itu, dan jika berpuasa dengan menjadikannya sebagai ganti dari hari bulan Ramadhan maka hal itu dari sisi hukum tidak dianggap alias tidak shah ; ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya tiga imam mazhab (selain Imam Ahmad); Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik. Demikian juga, pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah. Beliau menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang demikian banyak dari Imam Ahmad menunjukkan dia memilih pendapat ini juga. Dan diantara para ulama besar mazhab Hanbali yang memilih pendapat ini adalah Abul Khaththab dan Ibnu 'Aqil. Pengarang buku "al-Furu' " berkata: "saya tidak menemukan indikasi bahwa Imam Ahmad secara terang-terangan mewajibkan hal itu ataupun memerintahkannya; oleh karenanya tidak patut pendapat tersebut (yang menyatakan beliau mewajibkan berpuasa pada hari itu) dinisbatkan kepada beliau.Dalil :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (Imam Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah secara marfu' , sabda nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Berpuasalah kalian (dengan meniatkan puasa malam harinya untuk esok harinya-red) karena melihatnya (munculnya bulan sabit pertanda datangnya bulan Ramadhan-red) dan berbukalah ( menghentikan puasa) karena melihatnya (munculnya bulan sabit pertanda datangnya bulan Syawwal-red); lalu jika kalian dikabuti oleh awan (sehingga tidak dapat/terhalangi melihatnya-red) maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari (penuh)".

Jadi, hadits ini dan semisalnya menjelaskan tentang makna pertama yaitu " perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari) " .

Pendapat Jumhur ulama tersebut dipertegas lagi oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya al-Hadyu dimana beliau mendukung pendapat Jumhur dan menyanggah selain pendapat tersebut. Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada pendapat seorangpun dari para shahabat yang sharih (secara terang-terangan) yang dapat dipertanggung jawabkan kecuali dari Ibnu 'Umar yang memang dikenal sebagai orang yang amat keras dan preventif dalam berpendapat.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad berkenaan dengan wajibnya berpuasa pada hari yang diragukan (30 Sya'ban) tidak otentik dan valid. Demikian pula halnya dengan yang dinisbatkan kepada para shahabat Imam Ahmad meskipun sebagian dari mereka meyakini bahwa wajibnya berpuasa pada hari tersebut termasuk pendapat beliau. Pendapat beliau yang sharih dan dicantumkan secara tertulis dari beliau adalah bolehnya berbuka atau berpuasa pada hari itu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas para shahabat dan Tabi'in. Pokok-Pokok utama syari'at secara keseluruhan telah menetapkan bahwa tindakan preventif (al-Ihtiath) tidak memiliki implikasi wajib ataupun diharamkan.

B. Masalah ; jika bulan sabit pertanda dimulainya bulan Ramadhan terlihat di suatu negeri, apakah hal itu mengharuskan semua orang berpuasa atau tidak? Setidaknya terdapat empat pendapat mengenai hal ini:

Wajib atas seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada untuk berpuasa ; ini adalah pendapat yang ma.syhur dari Imam Ahmad dan para pengikutnya serta merupakan mufradaat mazhab beliau. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.
Alasannya ; karena masuknya bulan Ramadhan telah mantap dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya pun demikian, maka wajib berpuasa atas dasar tersebut.

Tidak wajib berpuasa bagi penduduk negeri yang lain bahkan setiap penduduk negeri dapat menentukan ru'yahnya secara tersendiri ; ini adalah pendapat sebagian ulama, yaitu pendapat al-Qasim bin Muhammad, Salim bin 'Abdullah dan Ishaq bin Rahawaih.
Alasannya ; berdasarkan riwayat Kuraib yang berkata: "aku datang ke Syam (dan sudah berada disana) dimana ketika itu sudah mulai memasuki bulan Ramadhan; lalu kami melihat munculnya bulan sabit pada malam Jum'at. Kemudian di akhir bulan, aku kembali ke Madinah lalu Ibnu 'Abbas menanyaiku (tentang banyak hal) kemudian menyinggung tentang bulan sabit seraya berkata: 'kapan pertamakali kalian melihat munculnya bulan sabit (pertanda masuknya bulan Ramadhan)?. Lantas aku memberitahukan beliau tentang hal itu. Beliau berkata: 'Tetapi kami telah melihatnya (dalam riwayat yang lain; memakai shighat fi'il al-Mudhari' –red) muncul pada malam Sabtu dan kami masih berpuasa hingga kami menyelesaikannya tiga puluh hari penuh'. Lalu aku berkata: 'bukankah cukup bagimu ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?'. Beliau menjawab: 'tidak! Demikianlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada kami". (H.R.Muslim).

Perlu rincian lagi; jika al-Mathaali' – jamak dari kata mathla' - (posisi munculnya bulan) berbeda maka masing-masing negeri harus berdasarkan mathla' nya sendiri, sedangkan jika hal itu sama maka hukum puasa dan tidak puasanya bagi mereka satu paket ; ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syafi'i dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.

Jika jarak antara kedua negeri kurang dari 2226 Km maka hilal (bulan sabit) mereka satu paket, dan jika lebih dari jarak tersebut maka tidak satu paket ; ini adalah pendapat as-Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab al-Marakisyi sebagaimana yang dinyatakan dalam kitabnya "al-'Azbuz Zallal fii Mabaahits Ru'yatil Hilal".

INTISARI HADITS

· Berpuasa di bulan Ramadhan terkait dengan ru'yah semua orang atau sebagian mereka terhadap hilal (bulan sabit). Ibnu Daqiq al-'Ied menolak untuk mengaitkan hukumnya berdasarkan perhitungan ahli nujum (astrolog). Selanjutnya, ash-Shan'ani menjelaskan andaikata hal itu terbatas kepada perhitungan (hisab) mereka niscaya hanya sedikit orang yang mengetahuinya sedangkan syara' dibangun atas apa yang diketahui oleh banyak orang.

· Berbuka (tidak berpuasa) juga terkait dengan hal tersebut.

· Bahwasanya jika hilal tidak terlihat, maka mereka tidak berpuasa melainkan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, demikian pula mereka tidak berbuka melainkan menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari.

· Bahwasanya jika terdapat kabut awan, mereka memperkirakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh. Ash-Shan'ani berkata: "Jumhur Fuqaha dan Ahli Hadits berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabdan beliau (faqduruu lahu) adalah menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari sebagaimana yang ditafsirkan dalam hadits yang lain.

referensi dari buku Taysiirul 'Allaam Syarhu 'Umdatil Ahkaam , karya Syaikh 'Abdullah Ali Bassam, jld. I, hal. 409-413, hadits ke-175.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

PENGANTAR DAN METODOLOGI ILMU USHUL FIQH

PENGANTAR DAN METODOLOGI ILMU USHUL FIQH

A. Muqoddimah
Istilah ushul fiqh bukanlah hal yang baru di dalam khazanah fiqih Islam, jadi jika setiap peradaban memiliki budaya yang dibanggakan dan khazanah unik yang tidak dimiliki oleh peradaban lain, maka sudah sepatutnya jika umat Islam membanggakan keunikan ushul fiqh ini yang dapat dianggap sebagai kekayaan ilmiah yang tidak ada duanya dalam sejarah peradaban manusia.

Ushul fiqh yang sering disebut dengan istilah "Turuqul Istinbath" (disiplin ilmu yang mengkaji cara-cara membuar konklusi hukum) atau “manaahij al-ijtihad” (metodologi ijtihad) merupakan salah satu disiplin ilmu yang diklaim sebagai ilmu yang orisinil, asli produk Islam tanpa adopsi dari peradaban lain, meskipun pada perkembangan selanjutnya ilmu ini mengalami asimilasi yang ditandai dengan merasuknya ilmu mantiq pada kitab Al-Mushtasfa, karangan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali (wafat 505 H)dan itupun pada sebagian pembahasan saja.

14 abad silam Nabi Muhammad saw jauh-jauh sudah memberikan titik barometer umat ini, dalam sabda beliau; "Barang siapa yang Allah kehendaki jadi orang yang baik niscaya Allah “mem-faqih-kannya” (memahamkannya) dalam urusan agama." Dan tentunya untuk menjadi faqih itu harus bias memahami dan menguasai turuq istimbathul ahkam (ushul fiqh).
Maka di prolog ini penulis menyarankan kepada saudara-saudara supaya kita lebih giat lagi dalam mengkaji ilmu ushul fiqh ini. Karena selain ini adalah warisan para leluhur kita, juga merupakan escalator untuk menjadi orang yang faqih. Dan di makalah ini penulis menulis pengantar dalam ilmu ushul fiqh dan metodologinya secara global yang meliputi: pengertian ushul fiqh, tujuan mempelajari ushul fiqh, perkembangan ushul fiqh, metodologi penulisan ushul fiqh, dan metodologi bahasan ushul fiqh.

B. Pengertian Ushul Fiqh

1) Secara etimologi ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu : "ushul" dan "al-fiqh".
Kata “ushul” bentuk jama’ dari asal kata "ashl" yang artinya sesuatu yang dibangun di atasnya, akan tetapi pemakaiannya di dalam kalimat bisa juga diartikan sebagai: Dalil, Ar-rajih, Qaidah, dan Mustashab. Sedangkan kata "fiqh" secara etimologi, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikannya,

v menurut Al-Ghozali dan Al-Amidi, “fiqh” adalah memahami sesuatu secara mutlak

v menurut Syekh Abu Ishaq As-Syairozi, “fiqh” adalah memahami sesuatu yang mendalam (daqiq)

v menurut Abu Hasan Al-Bashri, “fiqh” adalah memahami maksud dari pembicaraan orang lain

2) Adapun secara Terminologi “fiqh” adalah: Ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang berbentuk amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Dan “ushul fiqh” secara Terminologi atau Laqabi adalah: Ilmu tentang dalil-dalil fiqh secara global dan cara-cara meng-istinbath-kan hukum serta hal ihwal orang yang meng-istinbath-kan hukum tersebut. Jadi pada intinya Al-Ushul dan Al-Fiqh adalah dua disiplin ilmu yang sama sama “mustaqil”, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan perincian sebagai berikut;

v Al-Ushul membahas tentang dalil-dalil yang global dari segi dalalah (petunjuk) hukum-hukum syara’ yang berbentuk juz'iyah.

v Al-Fiqh membahas tentang dalil-dalil juz’iyah serta meng-istinbath-kan hukum dengan perantaraan Qawa'id al-Ushuliyah dan sesuai dengan dalil-dalil ijmal.

C. Tujuan Mempelajari Ilmu Ushul Fiqh

Diantara tujuannya adalah sebagai berikut;

v Pengaplikasian Qawa'id Ushuliyah terhadap dalil-dalil tafshil untuk istinbat ahkam

v Dengan Qawaid Ushuliyah kita bisa memahami nash-nash syara’ dan dalalahnya terhadap hokum

v Dengan Qawaid Ushuliyah kita bisa meng-istinbath-kan hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya, dan lain-lain.


D. Perkembangan Ushul Fiqh

Para pakar sejarah membagi sejarah ushul fiqh kedalam 4 fase:

a. Fase Rasulullah saw

b. Fase zaman sahabat r.a

c. Fase Tabi'in

d. Fase Tabi'i Tabi'in

Keempat fase ini bisa diklasifikasikan ke dalam dua babak
Yang pertama; ushul fiqh pra kodifikasi yang melilputi fase pertama, kedua, dan ketiga.
Yang kedua; ushul fiqh pasca kodifikasi yang meliputi fase keempat, dan dalam perkembangannya pada fase ini mencakup bebarapa periode; periode peletakan, pengembangan, rekonstruksi, dan penyempurnaan.

Pertama; Ushul Fiqh pra kodifikasi

Perlu ditegaskan bahwa substansi ushul fiqh sudah ditemukan sejak masa Nabi Saw, masa Sahabat, dan masa Tabi'in. dan ini bisa dilihat dari beberapa fakta yang terjadi pada zaman ini, yang bisa menjadi bukti Nabi menggunakan ushul fiqh ketika memberi jawaban hukum kepada masyarakat Islam saat itu. Termasuk diantaranya

a) Kasus Amru bin Ash yang mengimami sholat padahal ia dalam keadaan berjunub dan belum mandi kamudian para sahabat mengadukan hal ini pada Rasulullah saw, dan akhirnya Rasulullah Saw. meminta penjelasan kepada Amru bin Ash dan beliau memberi jawaban dengan firman Allah :
ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

Artinya : “dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu.” Dengan jawaban tersebut Rasulullah saw tersenyum dan menyetujuinya karena pada waktu itu terjadi musim yang sangat dingin sekali.

b) Yang kedua; kasus Umar bin Khattab yang mencium istrinya pada saat ia puasa. Lalu ia mendatangi nabi untuk meminta jawaban hukum apakah puasanya batal atau tidak. Nabi bertanya kepada Umar; apakah puasamu batal kalau kamu berkumur-kumur? Umar menjawab tidak. Nabi menjawab berarti puasamu tidak batal karena mencium istrimu. Kasus ini memberi isyarat syahnya metode qiyas.

Setelah Rasulullah saw wafat tentu problematika umat semakin banyak karena proses dinamika kehidupan. Dan bebarapa riwayat menggunakan metodologi “istinbat” hukum. Ini bisa dibuktikan pada kasus pemberhentian potong tangan kepada pencuri masa Umar bin Khattab dikarenakan pada saat itu terjadi musim paceklik yang cukup lama sehingga banyak di antara penduduk madinah yang mencuri. Dalam menangani kasus ini khalifah Umar bin Khattab mengambil inisiatif bahwa hukum potong tangan bukanlah keputusan yang bijaksana, karena pada saat itu keadaan umat Islam membutuhkan personil ke medan tempur. Padahal hukum potong tangan itu bagi orang yang mencuri sudah ditetapkan sejak zaman rasul begitu juga pada masa khalifah Abu Bakar As-Sidiq. Kasus ini memberi isyarat kuat bagi adanya penggunaan rasionalisasi hukum Islam (Ta'lilul Ahkam) yang kemudian menjadi tema dalam kajian ushul fiqh.

Metodologi ijtihad pada masa tabi'in tidak memiliki banyak perbedaan dengan sebelumnya, hanya saja ada beberapa penambahan, itu terjadi karena meluasnya permasalahan umat Islam. Metodoloti ijtihad ini bisa kita buktikan dengan penggunaan “saddu dzara'i” oleh Imam Malik dalam memberi fatwa makruhnya puasa 6 sawal dan penggunaan “mashalih almursalah” oleh Imam Syuraih Al-Qadi dalam memberikan fatwa bahwa seorang penjahat harus menjamin barang-barang pelanggan bila mana rumahnya terbakar.

Dari contoh beberapa kasus di atas dapat kita mengambil kesimpulan bahwa ushul fiqh itu sudah ada dan tumbuh subur sejak masa Rasulullah.

Faktor-faktor tidak terkodifikasikannya Ushul Fiqh pada ketiga fase ini sebagai berikut:

a. Pada zaman Nabi Saw segala permasalahan langsung diputuskan oleh beliau sendiri

b. Juga pada zaman ini wahyu masih turun

c. Para Sahabat pada zamannya belum membutuhkannya dikarenakan pemahaman mereka terhadap hukum-hukum masih orisinil dan kuat seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw

d. Para Tabi'in pada zamannya juga belum membutuhkan pengkodifikasianya dikarenakan mereka masih bisa mengistimbatkan hukum-hukum sebagai mana para sahabat, dan pada masa ini proses asimilasi belum kelihatan.

Kedua; Ushul fiqh pasca kodifikasi

1. Peletakan
Para sejarawan mencatat bahwa orang yang pertama kali menulis dan mentadwin ushul fiqh sehingga menjadi satu disiplin ilmu adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i (150-204H) dalam kitabnya Ar-Risalah yang kemudian diikuti oleh para ulama yang lain seperti imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Tha'aturrasul, "Annasikh wal mansukh".

2. Faktor-faktor pengkodifikasian ushul fiqh;

a. Pada masa ini wilayah islam semakin meluas yang akibatnya adanya percampuran antara orang arab dan ajam sehingga banyak istilah-istilah ajam yang mesuk kedalam bahasa arab.

b. Menjamurnya mujtahid-mujtahid yang tentunya mengakibatkan perbedaan cara mengistimbatkan ahkam.

c. Timbulnya perselisihan diantara para mujtahid.

d. Timbulnya syubhat-syubhat dalam memutuskan hokum

E. Metodologi Penulisan Ushul Fiqh

Penulisan ushul fiqh bisa diklasifikasikan kedalam 3 bentuk :

1. Metodologi Mutakalimun (thariqah Syafi'iyah) didalam metode ini mereka memasukkan ilmu mantiq dalam pembahasan ushul fiqh dan di antara keistimewaan metodologi ini adalah:

§ lebih condong menggunakan dalil aqli dan menyederhanakan perselisihan dan perdebatan.

§ menundukkan furu’ terhadap qaidah bukan sebaliknya.

Yang menjadi rujukan dalam metodologi ini ada tiga kitab besar

§ Al-Mu'tamad, karangan Abu Husain Al-Bashri, wafat 413 H

§ Al-Burhan, karangan Al-Haramain Al-Juwaini wafat 413 H

§ Al-Mustasfa, karangan Al-Ghazali, wafat 505 H

2. Metodologi Al-Hanafiah (thariqah Al-Fuqoha) metode ini penekanannya adalah merumuskan kaedah-kaedah ushuliyah dengan prosedur yang berbeda dari kalangan pertama, karena perumusan kaedah pada metode ini sangat dipengaruhi oleh masalah-masalah hukum yang sudah terkodifikasi di berbagai buku-buku yang sudah ada.

Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam metode ini antara lain;

§ Kitab al-ushul, karangan Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Jashas, wafat 370 H

§ Kitab al-Ushul, karangan Abu Zaid Abdullah bin Umar Ad-Dubusi, wafat 430 H

§ Kitab Al-Ushul, karangan Fakhrul Islam Ali bin Muhammad Al-Bazdawi, wafat 482 H dan lain-lain.

3. Metodologi Mutaakhirin

Dalam penulisan metode ini adalah proses penggabungan dua metode di atas sehingga metode ini kelihatan lebih mudah untuk dipahami.

Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam metode ini antara lain;

§ Kitab badiun Nidzam, penggabungan kitab Al-Jami dan Al-Ihkam, karangan Imam Mudofaruddin Al-Hanafi, wafat 649 H

§ Kitab At-Tankih dan syarahnya At-Taudih, karangan Sodarus Syariah Abdullah bin Masud Al-Hanafi wafat 747 H dan At-Taudih karangan Syekh Sa’aduddin As-Syafi'i, wafat 792 H.

§ Kitab Jam'ul Jawami, karangan Tajuddin As-Subki As-Syafi'i, wafat 771 H, dan lain-lain.

F. Metodelogi pembahasan Ushul Fiqh

Dalam pembahasan Ushul Fiqh ada 4 judul besar yang mesti dikaji dalam Ushul Fiqh

1. Pembahasan Hukum

2. Pembahasan Dalil-dalil Hukum

3. Pembahasan Turuq istimbat Ahkam serta qowaid-qowaid yang berhubungan dengannya

4. Pembahasan Ijtihad dan syarat-syaratnya serta mujtahid dan taqlid

G. Penutup
Semoga makalah pengantar ini mampu memberikan inspirasi mendalam bagi para pembaca sekalian untuk menguak berbagai keistimewaan dan problematika ushul fiqh sebagai metodelogi memahami dan mengaktualisasikan agama dalam bingkai kekinian. Allah Swt lebih mengerti yang benar, dan semoga makalah ini ada manfaatnya. Amin
Wallahu a’lam…

§ Makalah ini disusun oleh Raja Ritonga, dan telah disampaikan pada sebuah acara diskusi Ushul Fiqh "Membership Senat FSI" di Kairo.

§ Referensi

a. Dr Abdul Karim zaidan, Alwajiz fi Ushulil Fighi, Muassasatu Ar-Risalah, Beirut, thn 1996M/1417H, cet.V

b. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar El-Hadits, kairo, thn.2003M/1423H, cet.I

c. Seikh Muhammad Al-Khudri, Ushul Fiqh, Daar El-Hadits, kairo, thn. 2003M/1424H, cet.I

d. Dr Abdul Hay Asbu Abdul Al, Ushul Fiqh Al-Muyassar Muqorror th I Syariah, kairo, thn. 2006/2007M,

e. Muhammad bin Idris As-Syafi'I, Ar-Risalah, Tahkik, Ahmad Muhammad Sakir, Daaru At-Turats, kairo, thn. 2005M/1426H, cet. III

f. Mudir Baitu Al-Lahm, Fathu Ar-Rahman Li Tholibi Ayatil Qur'an, Maktabah Dahlan, Indonesia

»»  baca lanjutannya sob .. ..