HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah al-Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah al-Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah al-Islamiyyah, bukanlah sistem Islam. Menurut Hizbut tahrir, haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!.
HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA: BUKANLAH PERKARA KHILAFIYYAH.
Sistem kenegaraan Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Seluruh ‘ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-jaami’ li Ahkam Al-quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa, “Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah).
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar Hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi diroyah; dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara.
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persi yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian –pengangkatan wanita menjadi raja–, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qoum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”.
Adapun kisah Ratu Balqis dalam surat al-Naml, tidak ada hubungan sama sekali dengan masalah ini. Fragmen sejarah Ratu Bilqis tidak mempunyai implikasi hukum sama sekali. Itu hanya fragmen cerita ketika masa Nabi Sulaiman as. Tentu syari’at nabi terdahulu tidaklah berlaku bagi kita. Berdasar kaidah ushul syar’u man qablanaa laisa syar’an lanaa (syari’at sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita). sehingga syari’at nabi-nabi terdahulu bukanlah dalil syara’ bagi kita—ummat Muhammad saw. Adapun sementara pihak yang menyatakan bahwa Allah memuji dia, hal itu sama sekali tidak benar, sebab kalau kita melakukan tadabbur terhadap al-Qur’an tentang kisan Bilqis; tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa Allah swt memuji kearifan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis yang penyembah matahari, penyuap itu –sebelum diperisteri Nabi Sulaiman.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Ratu Bilqis –ketika masih menjadi penyembah matahari, dan penyogok itu, layak dijadikan panutan bagi kaum muslim? Jawabnya, tegas, tidak!. Walhasil, kisah Ratu Balqis tidak bisa digunakan dalil untuk mengabsahkan kepemimpinan wanita dalam negara.
Demikian juga, munculnya pemimpin perempuan dari Dinasti Mamalik bernama Ratu Syajaratuddur, tidak juga bisa digunakan sebagai dalil. Sebab fakta sejarah kaum muslim bukanlah dalil syara’. Fakta sejarah kaum muslim sebenarnya merupakan penerapan hukum syara’ dalam kehidupan. Tentu bisa saja terjadi penyimpangan sesuai dengan kadar keterikatan mereka—pada waktu sejarah tersebut ditulis—terhadap hukum syara’. Tentu, kaum muslim tidak bisa menghalalkan khamr, hanya dengan bersandar pada kenyataan sejarah. Semisal, pada masa kekhilafahan Islam, ada sebagian kaum muslim di negeri Islam yang melakukan maksiyyah. Misalnya, meminum khamr. Lalu, apakah dengan dalil historis, kaum muslim boleh meminum khamr? Tentu tidak. Sebab haram atau halalnya khamr harus merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, bukan bersandar kepada konteks sejarah.
Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang kufur HAM, dan demokrasi, pemasungan hak wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Cukuplah al-Quran dan Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang muttaqi keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang muttaqi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan al-Quran dan Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata!
Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (An-Nisaa’ [4]:32)
Demikianlah, dengan penelaahan yang mendalam terhadap dalil-dalil syara’; dan dengan mendudukkan isu-isu yang dilontarkan kafir—musuh Allah—untuk menciptakan keraguan terhadap Islam, dapat disimpulkan bahwa wanita memang diharamkan memegang tampuk kekuasaan negara. Selanjutnya, sikap yang seharusnya dimiliki oleh mukmin sejati adalah ia tidak akan pernah memilah-milah atau menimbang-nimbang ketetapan Allah SWT: dalam al-Quran maupun Sunnah. Mereka akan tunduk dan patuh dengan ketetapan Allah SWT.
ringkasan >>>
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan hawa nafsu mereka. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyahlah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslim dapat dipecahkan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar