Pengertian Mufassar

A. Definisi Mufassar
Menurut Prof. DR. Rachmat Syafe’i yang mengutip dari Al-Sarkhisi :
هو إسم لمكشوف الذي يعرف المراد به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمالا
“Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”

Sedangkan Al-Uddah memberikan definisi secara sederhana dan mudah dipahami.
ما يعرف معناه من لفظه و لا يفتقر الى قرينة تفسيره
“Suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.”

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafadz mufassar adalah :
1. Penunjukkan terhadap maknanya jelas sekali.
2. Penunjukkan itu hanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah dari luar.
3. Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin ditakwilkan.

B. Macam-Macam Mufassar
Mufassar ada dua macam :
1. Mufassar lidzatihi
Menurut asalnya lafadz itu memang sudah jelas dan terinci tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misalnya dalam surat an-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤﴾
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu 80 dera, tidak ada kemungkinan untuk difahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.

Misalnya lagi, dalam firman Allah SWT surat At-Taubah : 36
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya adalah empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 36)

Dengan adanya lafadz كافة (semuanya) pada ayat diatas meniadakan takhsis terhadap lafadz ‘am مشركين (kaum musyrikin). Dengan demikian, dengan adanya lafadz itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain.



Juga misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah SWT, jika kamu beriman pada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur :2)

Lafadz (seratus) adalah lafadz khas, yang perlu penjelasan dan yang lain mungkin dita’wilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan demikian lafadz ayat itu sendiri menunjukkan kepada arti yang jelas, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat tersebut untuk menjelaskannya.

2. Mufassar bighairihi
Lafadz yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafadz seperti itu juga disebut dengan mubayyan. Misalnya firman Allah :
(albaqarah : 43)
Lafadz الصلاة menurut bahasa berarti doa. Kemudian lafadz ini digunakan oleh syara’ untuk arti lain yang lebih terinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut, dikemukakan secara mujmal, maka tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan dari yang lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadits-hadits yang berupa sabda Rasulullah SAW, maupun perbuatan beliau, antara lain :
صلوا كما رأيتموني اصلي (رواه البخاري)
“Shalatlah kamu, seperti yang kamu lihat aku melakukan shalat.” (HR. Bukhari)

C. Hukum Mufassar
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh¬-nya. Lafadz mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.

Dengan demikian, dilalah mufassar lebih kuat dari pada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan dzahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.

Contoh : dua hadits mengenai wudlunya orang yang sedang mustahadah (keluar darah haid karena penyakit). Hadits pertama yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW dan ia berkata, “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudlulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.” (As-Syaukani, I : 299)

Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “Berwudlulah tiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t.t : 125)

Hadits riwayat pertama menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadah wajib berwudlu untuk setiap shalat. Dengan demikian, tidak sahnya shalat lebih dari satu shalat dengan satu wudlu sungguh pun pada waktu yang sama.

Sedangkan hadits riwayat kedua, menunjukkan bahwa wajibnya berwudlu itu untuk waktu seluruh shalat. Atas dasar ini, boleh shalat untuk beberapa kali, dengan satu wudlu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.

Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini dari segi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan hadits riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu, dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua, karena termasuk mufassar.


telah dipresentasikan oleh Mahasiswa UIN Suka prodi KUI

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Pengertian Mufassar

A. Definisi Mufassar
Menurut Prof. DR. Rachmat Syafe’i yang mengutip dari Al-Sarkhisi :
هو إسم لمكشوف الذي يعرف المراد به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمالا
“Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”

Sedangkan Al-Uddah memberikan definisi secara sederhana dan mudah dipahami.
ما يعرف معناه من لفظه و لا يفتقر الى قرينة تفسيره
“Suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.”

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafadz mufassar adalah :
1. Penunjukkan terhadap maknanya jelas sekali.
2. Penunjukkan itu hanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah dari luar.
3. Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin ditakwilkan.

B. Macam-Macam Mufassar
Mufassar ada dua macam :
1. Mufassar lidzatihi
Menurut asalnya lafadz itu memang sudah jelas dan terinci tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misalnya dalam surat an-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤﴾
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu 80 dera, tidak ada kemungkinan untuk difahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.

Misalnya lagi, dalam firman Allah SWT surat At-Taubah : 36
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya adalah empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 36)

Dengan adanya lafadz كافة (semuanya) pada ayat diatas meniadakan takhsis terhadap lafadz ‘am مشركين (kaum musyrikin). Dengan demikian, dengan adanya lafadz itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain.



Juga misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah SWT, jika kamu beriman pada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur :2)

Lafadz (seratus) adalah lafadz khas, yang perlu penjelasan dan yang lain mungkin dita’wilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan demikian lafadz ayat itu sendiri menunjukkan kepada arti yang jelas, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat tersebut untuk menjelaskannya.

2. Mufassar bighairihi
Lafadz yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafadz seperti itu juga disebut dengan mubayyan. Misalnya firman Allah :
(albaqarah : 43)
Lafadz الصلاة menurut bahasa berarti doa. Kemudian lafadz ini digunakan oleh syara’ untuk arti lain yang lebih terinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut, dikemukakan secara mujmal, maka tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan dari yang lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadits-hadits yang berupa sabda Rasulullah SAW, maupun perbuatan beliau, antara lain :
صلوا كما رأيتموني اصلي (رواه البخاري)
“Shalatlah kamu, seperti yang kamu lihat aku melakukan shalat.” (HR. Bukhari)

C. Hukum Mufassar
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh¬-nya. Lafadz mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.

Dengan demikian, dilalah mufassar lebih kuat dari pada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan dzahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.

Contoh : dua hadits mengenai wudlunya orang yang sedang mustahadah (keluar darah haid karena penyakit). Hadits pertama yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW dan ia berkata, “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudlulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.” (As-Syaukani, I : 299)

Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “Berwudlulah tiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t.t : 125)

Hadits riwayat pertama menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadah wajib berwudlu untuk setiap shalat. Dengan demikian, tidak sahnya shalat lebih dari satu shalat dengan satu wudlu sungguh pun pada waktu yang sama.

Sedangkan hadits riwayat kedua, menunjukkan bahwa wajibnya berwudlu itu untuk waktu seluruh shalat. Atas dasar ini, boleh shalat untuk beberapa kali, dengan satu wudlu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.

Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini dari segi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan hadits riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu, dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua, karena termasuk mufassar.


telah dipresentasikan oleh Mahasiswa UIN Suka prodi KUI

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Pengertian Dzahir dan Nash

A. Zhair
Zhohir Secara etimologi berarti jelas, kemudian Al-Bazdawi memberikan definisi sebagi berikut
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته
Sesuatu nama bagi seluruih perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
Sedangkan menurut oleh Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تامل
Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Atas dasar definisi-definisi tersebut, Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
اللفظ الدي يدل عليها معناه من غير توقوف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتاويل وقبول النسخ
Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumysan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan disini antara lain:
واحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.
Kedudukan lafadz Zhahir itu wajib diamalkannya semua petunjuk lafadz itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.
B. Nash
Menutut bahas nash adalah rof’u assyari’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara’ adalah:
Menurut Addabusi:
الزائد على الظاهر بيانا ادا قوبل به
Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz zhahir.
ما از داد وضوحا على الظاهر بمعنى المتكلم لا فى نفس الصيغة
Lafadz yang lebih jelas maknanya daripada makna Zhahir yang diambil dari si pembicarannya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.
Dari definisi-defisni tersebut dapat disimpiulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui dengan qorinah.
Atas dasar tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud Nash adalah:
اللفظ الدى يدل على الحكم الدى سيق ﻷجله الكلام دلالة واضحة تحتمل التخصيص والتاويل ﺇحتمالا اضعف من ﺇحتمال الظاهر مع قبول النسخ فى عهد الرسالة
Lafaz yang menunjukan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafadz Zhahir. Selain itu ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman rosul).
Sebagai contoh ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafadz Zhahir.
واحل الله البيع وحرم الربا
Dilalah Nash dari ayat diatas adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertian diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini Nash lebih memberi kejelasan Zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Adapun Kedudukan (hukum) lafadz nash sama dengan lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, menasakh atau mentakhsisnya. Perbedaan antara Dzahir dan Nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh adalah pada lafadz nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafadz zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara lafadz zhahir dan lafaz Nash, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakaianya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafadz nash.
C. Zhahir Vs Nash
Misalnya tentang halalnya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlah yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja.
Taruhlah disitu firman Allah: Annisa’ 24
• •
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…”
Bertentangan dengan Annisa’ Ayat 3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang sajaatau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat pertama menunjukan halalnya menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi jumlahnya. Dilalah tersebut termasuk dzohir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki boleh mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat yang kedua termasuk dilalah nash. Ayat kedua ini menunjukan halalnya menikahi wanita itu dibatasi empat, sehingga menikahi wanita lebih dari empat adalah haram.
Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua, ayat yang pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat. Dalam hal ini. Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash itu lebih kuat dari dilalah zhahir.

Wallahu A’lamu



telah dipresentasikan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Prodi KUI hari ini

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Arti dan Contoh Lafadz KHash

LAFADH KHASH

1. Pengertian lafaz khas

Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.

Menurut istilah, definisi khas adalah:

“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.

2. Dalalah Khash

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ

Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)

LAFADH tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:

فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ

“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

telah dipresentasikan oleh mahasiswa UIN Su-Ka prodi KUI-B hari ini

»»  baca lanjutannya sob .. ..