A. Definisi Mufassar
Menurut Prof. DR. Rachmat Syafe’i yang mengutip dari Al-Sarkhisi :
هو إسم لمكشوف الذي يعرف المراد به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمالا
“Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Sedangkan Al-Uddah memberikan definisi secara sederhana dan mudah dipahami.
ما يعرف معناه من لفظه و لا يفتقر الى قرينة تفسيره
“Suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.”
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafadz mufassar adalah :
1. Penunjukkan terhadap maknanya jelas sekali.
2. Penunjukkan itu hanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah dari luar.
3. Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin ditakwilkan.
B. Macam-Macam Mufassar
Mufassar ada dua macam :
1. Mufassar lidzatihi
Menurut asalnya lafadz itu memang sudah jelas dan terinci tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misalnya dalam surat an-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤﴾
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu 80 dera, tidak ada kemungkinan untuk difahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
Misalnya lagi, dalam firman Allah SWT surat At-Taubah : 36
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya adalah empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 36)
Dengan adanya lafadz كافة (semuanya) pada ayat diatas meniadakan takhsis terhadap lafadz ‘am مشركين (kaum musyrikin). Dengan demikian, dengan adanya lafadz itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain.
Juga misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah SWT, jika kamu beriman pada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur :2)
Lafadz (seratus) adalah lafadz khas, yang perlu penjelasan dan yang lain mungkin dita’wilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan demikian lafadz ayat itu sendiri menunjukkan kepada arti yang jelas, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat tersebut untuk menjelaskannya.
2. Mufassar bighairihi
Lafadz yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafadz seperti itu juga disebut dengan mubayyan. Misalnya firman Allah :
(albaqarah : 43)
Lafadz الصلاة menurut bahasa berarti doa. Kemudian lafadz ini digunakan oleh syara’ untuk arti lain yang lebih terinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut, dikemukakan secara mujmal, maka tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan dari yang lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadits-hadits yang berupa sabda Rasulullah SAW, maupun perbuatan beliau, antara lain :
صلوا كما رأيتموني اصلي (رواه البخاري)
“Shalatlah kamu, seperti yang kamu lihat aku melakukan shalat.” (HR. Bukhari)
C. Hukum Mufassar
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh¬-nya. Lafadz mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan demikian, dilalah mufassar lebih kuat dari pada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan dzahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.
Contoh : dua hadits mengenai wudlunya orang yang sedang mustahadah (keluar darah haid karena penyakit). Hadits pertama yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah SAW dan ia berkata, “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudlulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.” (As-Syaukani, I : 299)
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “Berwudlulah tiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t.t : 125)
Hadits riwayat pertama menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadah wajib berwudlu untuk setiap shalat. Dengan demikian, tidak sahnya shalat lebih dari satu shalat dengan satu wudlu sungguh pun pada waktu yang sama.
Sedangkan hadits riwayat kedua, menunjukkan bahwa wajibnya berwudlu itu untuk waktu seluruh shalat. Atas dasar ini, boleh shalat untuk beberapa kali, dengan satu wudlu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini dari segi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan hadits riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu, dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua, karena termasuk mufassar.
telah dipresentasikan oleh Mahasiswa UIN Suka prodi KUI