BUKU III HUKUM PERWAKAFAN


BUKU III

HUKUM PERWAKAFAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 215

Yang dimaksud dengan:

(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.

(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.

(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.

(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.

(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

BAB II

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu

Fungsi Wakaf

Pasal 216

Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua

Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Pasal 217

(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.

(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218

(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi.

(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219

(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. sudah dewasa;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. tidak berada di bawah pengampuan;

f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.

(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.

(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:

”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”

”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.

”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.

(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 220

(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Pasal 221

(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:

a. meninggal dunia;

b. atas permohonan sendiri;

c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;

d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.

(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatansetempat.

BAB III

TATA CARA PERWAKAFAN

DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu

Tata Cara Perwakafan

Pasal 223

(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.

(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:

a. tanda bukti pemilikan harta benda;

b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;

c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Bagian Kedua

Pendaftaran Benda Wakaf

Pasal 224

Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

BAB IV

PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN

PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu

Perubahan Benda Wakaf

Pasal 225

(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;

b. karena kepentingan umum.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf

Pasal 226

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Pengawasan

Pasal 227

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 228

Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup

Pasal 229

Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa kemanusiaan.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Pengertian dan contoh Mutlaq dan Muqoyyad

Mutlaq dan Muqayyad

A. Pengertian:

- Mutlaq: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu.
Contoh: lafadz ” laki-laki/ رَجُل ” yang menunjuk bukan pada seseorang tertentu.

Muqayyad: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu tetapi lafadz itu dibarengi dengan sifat yang membatasi maksudya.

Contoh: ” laki-laki Basrah/ رَجُل بَصري ” atau ” laki-laki shalih/ رجل صالح

B. Kaidah Mutlaq:
lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingg ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu.
Contohnya: kata ” رقبة ” dalam surat al mujadilah: 4, lafadz ini bersifat mutlaq dalam arti bisa raqabah mukmin atau kafir.

Contoh lain: surat an nisa’: 11 tentang kewajiban wasiat, lafadz ” وصية ” dalam ayat ini sifatnya mutlaq, kemudian as sunnah memberikan batasan besarnya wasiat yakni sepertiga, berdasar HR Muttafaqun ‘Alaih.

C. Kaidah Muqayyad:
Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
Contoh:
firman Allah dalam surat al Mujadilah: 4 lafadz ” dua bulan/ شهرين ” adalah mutlak yang dibarengi dengan kata ” berturut-turut/ متتابيعين ” maka kemudian menjadi muqayyad, maka berpuasa disini harus dua bulan berturut-turut tidak boleh secara terpisah.

»»  baca lanjutannya sob .. ..

Istinbath Hukum Islam

Bab I

Pendahuluan

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Dalam kehidupan ini sering kali kita temui berbagai macam masalah yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Yang mana masalah ini tidak ditemui pada zaman Nabi, namun masalah kontemporer seperti ini sering terjadi di tengah-tengah kita karena perkembangan zaman. Sehingga membutuhkan penetapan hukum yang baru untuk memberikan hukum dari masalah semacam ini. Oleh karena itu, para ulama’ Ushul membuat dan menetapkan hukum dari masalah yang baru tersebut. Penetapan hukum tersebut sering disebut dengan istinbath. Pada kesematan kali ini kami akan membahas tentang pengertian, ruang lingkup dan macam-macam istinbath tersebut.

Harapan kami semoga dengan makalah ini bisa menambah wawasan kita tentang masalah istinbath beserta kaidah-kaidahnya. Dan mengetahui bagaimana cara penetapan dan macam-macam istinbath. Dengan demikian bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Bab II

Pembahasan

2.1. Pengertian Istinbath

Menurut bahasa adalah mengeluarkan atau menetapkan, sebagaimana dalam ungkapan استخراج الماء من العين

Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi naluriyah.

Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lughawiyah) yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah.[1] Dalam pembahasan berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.

2.2. Istinbath Lafdzi

Yaitu mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab.

Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:

1. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah terkenal serta telah menjadi kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).

2. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah. yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-khasshah.

3. Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.

Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakainnya di kalangan masyarakat.[2]

Macam-macam Istinbath Lafdzi:

1. Khash

Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.

Hukum Lafadz Khash.

Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh karena itu, apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.[3]

2. ’Amm

Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”

Hukum berhujjah dengan ’Amm:

Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena itu dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :

”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).”

Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum. Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak.[4]

3. Amr (perintah)

Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

Bentuk Amr dan hakikatnya

Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.

Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).

Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.

Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.

· Perintah sesudah larangan

Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah (Kebolehan).

· Perintah dan waktu mengerjakannya

Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.[5]

4. Nahi (larangan)

Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.

Makna Sighat Nahi :

a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim, seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra’: 32)

Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).

b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada karahah saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah (perbuatan yang dibenci).

Alasan mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.

5. Muthlaq dan Muqayyad

Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya.

Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :

· Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.

· Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.

· Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.

· Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.

· Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.[6]

Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad:

Lafadz mutlaq dan muqayad, masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari muqayyad ke mutlaq.[7]

2.3. Istinbath Maknawi

a) Makna Dhahir

Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya.

Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut dengan wadlihud dalalah ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang dimaksudkan secara jelas dalam lafadh itu sendiri, tidak tergantung kepada sesuatu hal di luar lafadh tersebut. Dengan kata lain, dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadh itu.

Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti yang dimaksudkan, maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat macam, sedangkan urutan tingkat empat macam tersebut dari yang terang kemudian yang lebih terang dan seterusnya meningkat kepada yang lebih terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir, nash, mufassar kemudian muhkam.

1. Dhahir

Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain, dan mungkin juga dimasukkan.

Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu kecuali ada dalil lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadh mutlak harus diamalkan menurut mutlaknya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi) kemutlakan tersebut, dan jika dhahir itu berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan (mengkhususkan) berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu sampai ada dalil yang me-mansukh-kannya.

2. Nash

Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain yang ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan.

Sebagaimana hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ada pada nash tesebut sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau lafadh itu berupa lafadh mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan kalau nash itu berupa lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz tersebut sampai ada dalil yang me-mansukh-kan.

3. Mufasshar

Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud dengan disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan kepada yang lain, akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa Rasulullah saw. Mufasshar dibedakan menjadi dua macam, yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.

a. Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan

b. Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.

4. Muhkam

Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan disusunnya) lafadh itu, dengan tidak mungkin ditakwilkan dan tidak dimansukhkan pada masa Rasulullah saw.

Tidak di-mansukh-kannya muhkam, karena hukum-hukum yang tersebut merupakan hukum-hukum yang pokok dalam agama, seperti ibadah hanyalah kepada Allah swt dll.

b) Makna Khafi

Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah juga merupakan bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh diartikan dengan : lafadh yang tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan lafadh itu sendiri atau karena hal-hal lain.

Para ulama membagi khafiyud dalalah menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.

1. Khafi

Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan pemikiran yang mendalam.

Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung dalam lafadh itu yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain.

2. Musykil

Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti tidak mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya musykil yaitu, karena lafadh tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majazi, dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjadi pertentangan pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.

3. Mujmal

Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena keadaan lafadh itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari syara’.

4. Mutasyabih

Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafadh itu sendiri dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.

Bab III

Penutup

Dari pemaparan kami di atas bisa kita simpulkan bahwa istinbath adalah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi naluriyah.

Sedangkan istinbath sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu istinbath secara lafdhi dan maknawi.

Yang termasuk dalam istinbath lafdhi adalah

1. Khash,

2. ’Amm,

3. ’Amr (perintah),

4. Nahi (larangan),

5. Muthlaq dan Muqayyad

Yang termasuk dalam Istinbath Maknawi adalah

a) Makna Dhahir

1. Dhahir

2. Nash

3. Mufasshar

4. Muhkam

b) Makna Khafi

1. Khafi

2. Musykil

3. Mujmal

4. Mutasyabih.

Dengan demikian, usai sudah pembahasan kita tentang istinbath beserta pembagiannya. Semoga dari pemaparan singkat kami di atas dapat menambah pengetahuan kita dalam masalah istinbath.


sudah dipresentasikan oleh Mahasiswa Syari'ah

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. 2003. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus

Mu’in, Asymuni Rahman. 1986. Ushul Fiqh II. Jakarta : Departemen Agama

Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia



[1] Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta:departemen Agama, 1986), hlm. 2

[2] Ibid, hlm. 3

[3] Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 188

[4] Mu’in. Op.Cit. hlm. 15

[5] Mu’in. Op.Cit. hlm. 35

[6] Syafe’i. Op,Cit. hlm. 213

[7] Mu’in. Op,Cit. hlm. 52

»»  baca lanjutannya sob .. ..