Peraturan mengenai keberatan dimuat dalam Pasal 25 UU KUP
Pasal 25 UU No 6 tahun 1983 ini telah mengalami perubahan di UU No 9 Tahun
1994, UU No 16 Tahun 2000, dan UU No 28 tahun 2007
Berikut lanjutan mengenai aturan
dalam pasal pasal 25 yang telah diubah terakhir dalam UU No 28 tahun 2007:
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau
melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Tanda penerimaan surat yang telah
diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi
sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat
sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan
dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak
tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya
dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian
keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai
surat keberatan.
Ayat (6)
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau
pemungutan pajak.
Agar Wajib Pajak dapat menyusun
keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk
memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh
tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan
atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Dalam hal keberatan Wajib Pajak
ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan
banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan
dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang
pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak
2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih
harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang
masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi
sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian
keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi
sebesar Rp750.000.000,00.
Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak
dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai
sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x
(Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat(10)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
tidak dikenakan.