Manajemen Utang Piutang (QS. Al-Baqarah Ayat 282) :
Sebuah Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam
Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi.
Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah; kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat.
Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.
Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.
Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu. (HR. Bukhari – Muslim).
Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij.
Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).
Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya : “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.
Kecenderungan yang baik mendorong manusia untuk berperilaku yang normatif. Sedangkan yang buruk menjadikan perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu (impulsif). Dengan demikian, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah dan baik-buruk. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Allah SWT. memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih (free choice) dan impact bagi manusia adalah berdasarkan pilihan manusia sendiri.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki dua kecenderungan yang berbeda dalam diri menyebabkan kehidupan sosial mereka tidak luput dari kecemasan dan ancaman. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kepribadian manusia, dan dalam ilmu psykologi, kepribadian tersebut dijelaskan secara detail oleh Kally dengan memperkenalkan konsep anxiety (cemas) dan threat (ancaman).
Kally melaporkan bahwa anxiety dan threat merupakan keadaan yang kritis bagi organisme. Oleh karena itu individu senantiasa berusaha melindungi diri dari anxiety dengan berbagai cara. Anxiety bukan akibat dari konstruk yang tidak sah (invalidated), tetapi merupakan akibat dari tidak dimiliki oleh manusia sebuah konstruk yang cocok dengan situasi yang dihadapi.
Sedangkan threat mempunyai daerah pecabangan yang luas, manakala individu melakukan aktivitas yang baru, dia akan mengalami kebingungan (confusion) dan ancaman, kebingungan ini memungkinkan dapat mengarahkan kepada hal-hal baru, tetapi juga mungkin akan menjadi ancaman bagi individu. Seseorang akan mengalami threat, manakala dia menyadari bahwa sistem konstruk yang ada secara drastis dipengaruhi oleh apa yang dihadapi.
Di samping anxiety dan threat, Kelly juga mengemukakan teori tentang psychopathology. Psychopathology ini meliputi konsep - konsep aggression, hostility, dan guilt. Menurut Kelly, aggression itu melibatkan elaborasi yang aktif bidang persepsi seseorang. Aggression ini memiliki dua kutub yang ekstrim, yaitu kutub inisiatif (penuh daya) dan kutub yang kaku (inertia). Lawan dari aggression adalah hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Sedangkan guilt perasaan bersalah pada diri sendiri seseorang sehingga tidak mengherankan bagi kita ada peristiwa bunuh diri yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.
Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.
Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas.
Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “ Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.
Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.
Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”.
Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.
Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”.Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.
Para akuntan dalam menjalankan profesi memiliki kode etik yang dinamakan dengan “kode etika profesi (code of professional ethic) yang disusun oleh organisasi profesi Certified Public Accountant (CPA) dan AICPA.
Seorang CPA mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan kejujuran bukan hanya bagi kliennya, tetapi juga kepada teman sejawat dan masyarakat secara umum. Tujuan kode etik tersebut untuk menanamkan kepercayaan terhadap mutu jasa yang diberikan oleh profesi akuntan publik.
Kode tersebut menetapkan standar minimum pelaksanaan yang diterima umum; namun seringkali dituntut hal yang melebihi ketentuan yang secara hukum sudah dapat diterima. Misalnya, kode etika profesi AICP melarang penggunaan iklan palsu yang menyesatkan dan menipu.
Seorang CPA yang melanggar kode etika dikenakan tindakan disiplin. AICPA dan CPA memiliki wewenang memberhentikan seorang pelanggar kode etik dari keanggotaan organisasi.
Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.
Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure) pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.
Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.
Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.
Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya: “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim).
Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?.
Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.
Untuk menguak misteri Ilahi itu, penulis merujuk kepada hasil penelitian terbaru di Universitas Purdue Amerika Serikat bahwa wanita memiliki kebutuhan lebih besar untuk disentuh dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena, secara anatomi, wanita memiliki lebih banyak ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan pria.
Perbedaan kebutuhan sentuhan pada pria dan wanita itu dapat juga diteliti dari sikap masyarakat. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, wanita sudah memperkenalkan bahasa cinta yang diekspresikan melalui fisik mereka semenjak masih kecil. Hal demikian terlihat dari kebiasaan anak perempuan, sebelum ayah ke kantor, anak perempuan meminta kepada ayahnya untuk dicium pipi dan memeluknya. Ketika jalan – jalan, anak perempuan otomatis menggandeng ayahnya. Saat beranjak remaja, perempuan lebih leluasa memeluk, memegang tangan atau mencium pipi kawan sesama wanita.
Kesimpulan dari riset tersebut memperkuat terhadap teori fungsionalisme bahwa, struktur anatomi manusia mempengaruhi kepada psykologi manusia itu sendiri.
Berdasarkan fakta ilmiah di atas serta dikaitkan kepada teori fungsionalisme, kasih sayang dan kelembutan (feminim) lebih dominan pada wanita dibanding pria (masculin) disebabkan karena kulit wanita lebih banyak memiliki ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan dengan lelaki.
Oleh sebab itu, sifat pengasih, rasa iba dan lembut pada wanita terbentuk karena kebutuhan kulit mereka untuk disentuh lebih besar. Sifat – sifat tersebut merupakan sebuah karunia Allah SWT. bagi wanita (given).
Berdasarkan karunia inilah Allah SWT. menilai bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan kesaksian satu lelaki. Karena kesaksian adalah perbuatan hukum yang sarat dengan godaan, tekanan dan ancaman. Ini adalah sebuah bukti akan keadilan Allah SWT. kepada hamba-Nya.
Saksi – saksi yang dihadirkan dalam transaksi utang piutang adalah para saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak, pemberi hutang dan orang yang berhutang. Berdasarkan kalimat itu bermakna bahwa, saksi disyaratkan harus adil dan jujur.
Firman Allah SWT. yang artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.
Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “ Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).
Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebab dari menuliskan utang piutang baik besar atau pun kecil akan bermanfaat sebagai alat bukti untuk menghilangkan keragu-raguan bagi kedua belah pihak. Dan menghilangkan keraguan merupakan aspek yang lebih adil di sisi Allah SWT..
Konsep yang Allah SWT. berikan sebagaimana tersebut di atas, berdampak besar terhadap kestabilan jiwa (soul) manusia. Karena dengan konsep tersebut manusia menemukan sebuah konstruk yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Tersedia konstruk yang tepat menyebabkan hilangnya kecemasan manusia (anxiety) dari ketidaknyamanan hidup karena setiap diri manusia diilhami oleh Allah SWT. dengan dua kecenderungan yang berbeda (taqwa dan fujur).
Ketika Allah SWT. menanamkan dua kecenderungan yang berbeda dalam diri manusia, Allah SWT. sebagai khaliq juga memberikan solusi kepada manusia untuk menghadapinya. Di sinilah letak letak keadilan Allah SWT.
Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya: “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Tentang firman Allah SWT. tersebut, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam jual beli tunai, Allah SWT. tidak mewajibkan untuk menuliskannya. Akan tetapi, hendaklah mempersaksikan jual beli tersebut supaya lebih aman.
Dalam menafsirkan firman Allah SWT. ini, Ibnu Katsir merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. yang bersumber dari Khuzaimah (sanad) yang artinya sebagai berikut : “ Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. membeli seekor kuda dari seorang Baduwi, kemudian Rasulullah SAW. meminta kepadanya supaya ikut ke rumah untuk dibayar harganya. Rasululllah SAW. berjalan agak cepat, sedang Baduwi perlahan-lahan, sehingga banyak orang yang menawar kudanya, karena orang-orang itu tidak mengetahui bahwa kuda itu sudah jadi dibeli oleh Rasulullah SAW. Ketika ada tawaran yang lebih tinggi dari tawaran Rasulullah SAW., Baduwi itu berseru kepada Rasulullah SAW., “Jika anda membeli kuda ini, segeralah. Jika tidak, maka akan aku jual”. Ketika Rasulullah SAW. mendengar seruan Baduwi itu, beliau segera berhenti dan berkata, “Bukankan kuda itu sudah aku beli?”, Baduwi menjawab, “Tidak, demi Allah aku belum menjual kepada mu”. Maka orang-orang berkerumun di antara Rasulullah SAW. dan Baduwi, lalu Baduwi itu berkata, “Siapakah saksinya, bahwa aku telah menjual kepada mu?”. Maka kaum muslimin yang ada di situ semuanya memperingatkan kepada Baduwi, “Celaka kamu, Rasulullah SAW. tidak pernah berdusta”. Kemudian Khuzaimah bin Tsabit datang dan mendengar tuntutan Baduwi untuk membawa saksi, maka Khuzaimah bersaksi, “Aku bersaksi, bahwa engkau telah membelinya”. Maka selesailah urusan itu. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Khuzaimah, “Dengan dasar apa bahwa kamu berani menjadi saksi?”, jawab Khuzaimah, “ Karena keteranganmu, ya Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW. menetapkan, bahwa kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang.” (HR. Ahmad) dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
Ibnu Katsir melanjutkan, Abu Musa r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “Tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi doa mereka tidak diterima, yaitu : 1. Seseorang yang mempunyai istri yang rendah budinya tetapi tidak diceraikannya; 2. Seseorang yang menyerahkan harta kepada anak yatim sebelum baligh; 3. Seseorang yang memberi hutang kepada orang lain dan tidak mempersaksikannya”. (HR. Ibnu Murdawaih dan Hakim).
Ibnu Katsir juga menjelaskan firman Allah SWT. yang artinya : “Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan”, bahwa penulis dan saksi tidak boleh dibebani, dalam tugasnya jangan sampai dirugikan atau dipaksakan kepadanya untuk menyalahi yang sebenarnya. Karena perbuatan itu merupakan pelanggaran yang berarti fasiq dalam agama.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah melaporkan, “Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[26]. Wallahu a’lam.
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penafsiran penulis tentang ayat 282 surat Al-Baqarah tentang manajemen utang piutang. Kesimpulan yang dapat penulis sarikan adalah sebagai berikut :
I. Asbab An-Nuzul
1. Didasarkan kepada pengertian asbab an-nuzul yaitu peristiwa – peristiwa (sebab) diturunkan sebuah ayat, maka untuk ayat 282 surat Al-Baqarah adalah tidak memiliki asbab al-nuzul.
2. Akan tetapi, bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab al-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 surat Al-Baqarah.
II. Manajemen utang piutang :
1. Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan untuk itu.
2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Dan untuk kondisi sekarang pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3. Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4. Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.
II. Implikasi manajeman utang piutang bagi manusia
Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.
Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa. Wallahu a’lam.
Sebuah Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam
Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi.
Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah; kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat.
Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.
Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.
Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu. (HR. Bukhari – Muslim).
Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij.
Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).
Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya : “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.
Kecenderungan yang baik mendorong manusia untuk berperilaku yang normatif. Sedangkan yang buruk menjadikan perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu (impulsif). Dengan demikian, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah dan baik-buruk. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Allah SWT. memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih (free choice) dan impact bagi manusia adalah berdasarkan pilihan manusia sendiri.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki dua kecenderungan yang berbeda dalam diri menyebabkan kehidupan sosial mereka tidak luput dari kecemasan dan ancaman. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kepribadian manusia, dan dalam ilmu psykologi, kepribadian tersebut dijelaskan secara detail oleh Kally dengan memperkenalkan konsep anxiety (cemas) dan threat (ancaman).
Kally melaporkan bahwa anxiety dan threat merupakan keadaan yang kritis bagi organisme. Oleh karena itu individu senantiasa berusaha melindungi diri dari anxiety dengan berbagai cara. Anxiety bukan akibat dari konstruk yang tidak sah (invalidated), tetapi merupakan akibat dari tidak dimiliki oleh manusia sebuah konstruk yang cocok dengan situasi yang dihadapi.
Sedangkan threat mempunyai daerah pecabangan yang luas, manakala individu melakukan aktivitas yang baru, dia akan mengalami kebingungan (confusion) dan ancaman, kebingungan ini memungkinkan dapat mengarahkan kepada hal-hal baru, tetapi juga mungkin akan menjadi ancaman bagi individu. Seseorang akan mengalami threat, manakala dia menyadari bahwa sistem konstruk yang ada secara drastis dipengaruhi oleh apa yang dihadapi.
Di samping anxiety dan threat, Kelly juga mengemukakan teori tentang psychopathology. Psychopathology ini meliputi konsep - konsep aggression, hostility, dan guilt. Menurut Kelly, aggression itu melibatkan elaborasi yang aktif bidang persepsi seseorang. Aggression ini memiliki dua kutub yang ekstrim, yaitu kutub inisiatif (penuh daya) dan kutub yang kaku (inertia). Lawan dari aggression adalah hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Sedangkan guilt perasaan bersalah pada diri sendiri seseorang sehingga tidak mengherankan bagi kita ada peristiwa bunuh diri yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.
Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.
Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas.
Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “ Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.
Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.
Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”.
Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.
Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”.Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.
Para akuntan dalam menjalankan profesi memiliki kode etik yang dinamakan dengan “kode etika profesi (code of professional ethic) yang disusun oleh organisasi profesi Certified Public Accountant (CPA) dan AICPA.
Seorang CPA mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan kejujuran bukan hanya bagi kliennya, tetapi juga kepada teman sejawat dan masyarakat secara umum. Tujuan kode etik tersebut untuk menanamkan kepercayaan terhadap mutu jasa yang diberikan oleh profesi akuntan publik.
Kode tersebut menetapkan standar minimum pelaksanaan yang diterima umum; namun seringkali dituntut hal yang melebihi ketentuan yang secara hukum sudah dapat diterima. Misalnya, kode etika profesi AICP melarang penggunaan iklan palsu yang menyesatkan dan menipu.
Seorang CPA yang melanggar kode etika dikenakan tindakan disiplin. AICPA dan CPA memiliki wewenang memberhentikan seorang pelanggar kode etik dari keanggotaan organisasi.
Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.
Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure) pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.
Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.
Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.
Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya: “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim).
Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?.
Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.
Untuk menguak misteri Ilahi itu, penulis merujuk kepada hasil penelitian terbaru di Universitas Purdue Amerika Serikat bahwa wanita memiliki kebutuhan lebih besar untuk disentuh dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena, secara anatomi, wanita memiliki lebih banyak ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan pria.
Perbedaan kebutuhan sentuhan pada pria dan wanita itu dapat juga diteliti dari sikap masyarakat. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, wanita sudah memperkenalkan bahasa cinta yang diekspresikan melalui fisik mereka semenjak masih kecil. Hal demikian terlihat dari kebiasaan anak perempuan, sebelum ayah ke kantor, anak perempuan meminta kepada ayahnya untuk dicium pipi dan memeluknya. Ketika jalan – jalan, anak perempuan otomatis menggandeng ayahnya. Saat beranjak remaja, perempuan lebih leluasa memeluk, memegang tangan atau mencium pipi kawan sesama wanita.
Kesimpulan dari riset tersebut memperkuat terhadap teori fungsionalisme bahwa, struktur anatomi manusia mempengaruhi kepada psykologi manusia itu sendiri.
Berdasarkan fakta ilmiah di atas serta dikaitkan kepada teori fungsionalisme, kasih sayang dan kelembutan (feminim) lebih dominan pada wanita dibanding pria (masculin) disebabkan karena kulit wanita lebih banyak memiliki ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan dengan lelaki.
Oleh sebab itu, sifat pengasih, rasa iba dan lembut pada wanita terbentuk karena kebutuhan kulit mereka untuk disentuh lebih besar. Sifat – sifat tersebut merupakan sebuah karunia Allah SWT. bagi wanita (given).
Berdasarkan karunia inilah Allah SWT. menilai bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan kesaksian satu lelaki. Karena kesaksian adalah perbuatan hukum yang sarat dengan godaan, tekanan dan ancaman. Ini adalah sebuah bukti akan keadilan Allah SWT. kepada hamba-Nya.
Saksi – saksi yang dihadirkan dalam transaksi utang piutang adalah para saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak, pemberi hutang dan orang yang berhutang. Berdasarkan kalimat itu bermakna bahwa, saksi disyaratkan harus adil dan jujur.
Firman Allah SWT. yang artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.
Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “ Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).
Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebab dari menuliskan utang piutang baik besar atau pun kecil akan bermanfaat sebagai alat bukti untuk menghilangkan keragu-raguan bagi kedua belah pihak. Dan menghilangkan keraguan merupakan aspek yang lebih adil di sisi Allah SWT..
Konsep yang Allah SWT. berikan sebagaimana tersebut di atas, berdampak besar terhadap kestabilan jiwa (soul) manusia. Karena dengan konsep tersebut manusia menemukan sebuah konstruk yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Tersedia konstruk yang tepat menyebabkan hilangnya kecemasan manusia (anxiety) dari ketidaknyamanan hidup karena setiap diri manusia diilhami oleh Allah SWT. dengan dua kecenderungan yang berbeda (taqwa dan fujur).
Ketika Allah SWT. menanamkan dua kecenderungan yang berbeda dalam diri manusia, Allah SWT. sebagai khaliq juga memberikan solusi kepada manusia untuk menghadapinya. Di sinilah letak letak keadilan Allah SWT.
Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya: “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Tentang firman Allah SWT. tersebut, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam jual beli tunai, Allah SWT. tidak mewajibkan untuk menuliskannya. Akan tetapi, hendaklah mempersaksikan jual beli tersebut supaya lebih aman.
Dalam menafsirkan firman Allah SWT. ini, Ibnu Katsir merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. yang bersumber dari Khuzaimah (sanad) yang artinya sebagai berikut : “ Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. membeli seekor kuda dari seorang Baduwi, kemudian Rasulullah SAW. meminta kepadanya supaya ikut ke rumah untuk dibayar harganya. Rasululllah SAW. berjalan agak cepat, sedang Baduwi perlahan-lahan, sehingga banyak orang yang menawar kudanya, karena orang-orang itu tidak mengetahui bahwa kuda itu sudah jadi dibeli oleh Rasulullah SAW. Ketika ada tawaran yang lebih tinggi dari tawaran Rasulullah SAW., Baduwi itu berseru kepada Rasulullah SAW., “Jika anda membeli kuda ini, segeralah. Jika tidak, maka akan aku jual”. Ketika Rasulullah SAW. mendengar seruan Baduwi itu, beliau segera berhenti dan berkata, “Bukankan kuda itu sudah aku beli?”, Baduwi menjawab, “Tidak, demi Allah aku belum menjual kepada mu”. Maka orang-orang berkerumun di antara Rasulullah SAW. dan Baduwi, lalu Baduwi itu berkata, “Siapakah saksinya, bahwa aku telah menjual kepada mu?”. Maka kaum muslimin yang ada di situ semuanya memperingatkan kepada Baduwi, “Celaka kamu, Rasulullah SAW. tidak pernah berdusta”. Kemudian Khuzaimah bin Tsabit datang dan mendengar tuntutan Baduwi untuk membawa saksi, maka Khuzaimah bersaksi, “Aku bersaksi, bahwa engkau telah membelinya”. Maka selesailah urusan itu. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Khuzaimah, “Dengan dasar apa bahwa kamu berani menjadi saksi?”, jawab Khuzaimah, “ Karena keteranganmu, ya Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW. menetapkan, bahwa kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang.” (HR. Ahmad) dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
Ibnu Katsir melanjutkan, Abu Musa r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “Tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi doa mereka tidak diterima, yaitu : 1. Seseorang yang mempunyai istri yang rendah budinya tetapi tidak diceraikannya; 2. Seseorang yang menyerahkan harta kepada anak yatim sebelum baligh; 3. Seseorang yang memberi hutang kepada orang lain dan tidak mempersaksikannya”. (HR. Ibnu Murdawaih dan Hakim).
Ibnu Katsir juga menjelaskan firman Allah SWT. yang artinya : “Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan”, bahwa penulis dan saksi tidak boleh dibebani, dalam tugasnya jangan sampai dirugikan atau dipaksakan kepadanya untuk menyalahi yang sebenarnya. Karena perbuatan itu merupakan pelanggaran yang berarti fasiq dalam agama.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah melaporkan, “Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[26]. Wallahu a’lam.
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penafsiran penulis tentang ayat 282 surat Al-Baqarah tentang manajemen utang piutang. Kesimpulan yang dapat penulis sarikan adalah sebagai berikut :
I. Asbab An-Nuzul
1. Didasarkan kepada pengertian asbab an-nuzul yaitu peristiwa – peristiwa (sebab) diturunkan sebuah ayat, maka untuk ayat 282 surat Al-Baqarah adalah tidak memiliki asbab al-nuzul.
2. Akan tetapi, bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab al-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 surat Al-Baqarah.
II. Manajemen utang piutang :
1. Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan untuk itu.
2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Dan untuk kondisi sekarang pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3. Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4. Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.
II. Implikasi manajeman utang piutang bagi manusia
Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.
Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar