1) Dasar Hukum Kewarisan
Hukum waris dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab 12 dan 16, terutama Pasal 528 tentang hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, dan ketentuan Pasal 584 menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Penempatan hukum kewarisan dalam Buku II KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.
Masih berlaku atau tidaknya Burgerlijk Wetboek (BW) yang diterjemahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) di Indonesia, haruslah terlebih dahulu dilihat penggolongan penduduk pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan hukum yang berlaku pada masing – masing golongan penduduk tersebut. Pada masa lalu penduduk di Indonesia digolong-golongkan menurut ketentuan Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, yaitu:
a). Orang – orang Belanda;
b). Orang – orang Eropa yang lain;
c). Orang – orang Jepang, dan orang – orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-asas hukum keluarga yang sama;
d). Orang – orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk kelompok 2 dan 3 (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 3).
Berdasarkan pendapat H. M. Idris Ramulyo, S.H., M.H dikatakan bahwa menurut Staatsblad 1925 Nomor 145 jo. 447 yang telah diubah, ditambah dan sebagainya, terakhir dengan Staatsblad 1929 No. 221 Pasal 131 jo. Pasal 163, hukum kewarisa yang diatur dalam KUH Perdata diberlakukan bagi orang – orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang – orang Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 Nomor 129 jo. Staatsblad 1924 Nomor 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi orang – orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 12, tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa maka bagi orang –orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada:
a). Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, misalnya Inggris, Jerman, Prancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang
b). Orang-orang Timur Asing Tionghoa
c). Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi yang menundukkan diriterhadap hukum (M. Idris Ramulyo, 2001: 60).
2) Sebab – Sebab Menerima Warisan
Dalam hukum waris perdata terdapat 2 (dua) unsur untuk memperoleh harta warisan. Unsur – unsur tersebut adalah:
a) Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang)
Pada prinsipnya seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya. Misalnya menghibahkan ataupun memberikan harta kekayaannya kepada orang lain menurut kehendaknya.
b) Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama)
Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual, undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris yang sangat dekat yang bertujuan untuk melindungi kepentingan mereka (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 13).
Adapun syarat-syarat seseorang menerima warisan diatur dalam Titel ke-11 Buku Kedua KUH Perdata yaitu:
a). Ada orang yang meninggal dunia. Pasal 830 KUH Perdata menyebutkan, bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian di sini adalah kematian alamiah (wajar)
b). Untuk memperoleh harta peninggalan ahli waris harus hidup pada saat pewaris meninggal (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 14).
Menurut Pasal 836 KUH Perdata, untuk bertindak sebagai ahli waris, si ahli waris harus hadir pada saat harta peninggalan jatuh meluang (warisan terbuka).
Sedangkan prinsip pewarisan adalah sebagai berikut:
a). Pada asasnya yang dapat beralih pada ahli waris hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.
b). Dengan meninggalnya seseorang, seketika itu segala hak dan kewajiban pewaris beralih pada ahli warisnya (hak saisine). Hak saisine berarti ahli waris demi hukum memperoleh kekayaan pewaris tanpa menuntut penyerahan.
c). Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah keluarga sedarah dengan pewaris
d). Pada dasarnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi (Pasal 1066 KUH Perdata)
e). Pada asasnya setiap orang, termasuk bayi yang baru lahir, cakap mewaris, kecuali mereka yang dinyatakan tak patut mewaris (Pasal 838 KUH Perdata) (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 15).
3) Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya Masing – Masing
Menurut KUH Perdata, ahli waris dibagi menjadi 4 (empat) golongan (Tamakiran S., 2000: 36) :
a) Golongan I, yaitu anak-anak dan keturunannya, termasuk suami-istri. Mereka menerima bagian dengan bagian yang sama. Hal ini diatur dalam Pasal 852 KUH Perdata yang berbunyi: “Pembagian antara anak-anak dan janda adalah sama. Apabila salah seorang anak ini meninggal lebih dahulu, maka digantikan oleh anak dari anak yang meninggal itu atau cucu dari si peninggal warisan.”
Anak-anak mewaris dalam derajat pertama, artinya mereka mewaris kepala demi kepala. Mereka masing-masing mempunyai bagian yang sama besar. Hal ini sesuai dengan Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 51). Dalam Pasal 852 terdapat asas persamaan, yaitu dimana hak mewaris masih diteruskan dengan menetapkan anak-anak atau sekalian keturunan mereka mewaris dari pewaris, meskipun mereka lahir dari perkawinan yang lain.
Dalam Pasal 852a KUHPerdata ditentukan bahwa bagian suami atau istri yang hidup terlama adalah sam a dengan bagian anak. Ketentuan yang mempersamakan bagian suami-istri yang hidup terlama dengan anak, hanya berlaku dalam pewarisan karena kematian. Apabila si pewaris meninggalkan seorang suami atau istri yang hidup terlama dan tidak meninggalkan keturunan, maka suami atau istri yang hidup terlama ini berhak atas seluruh warisan. Suami atau istri ini mengesampingkan orang tua, saudara laki dan perempuan seandainya mereka masih ada. Suami atau istri yang hidup terlama ini tampil sebagai ahli waris berdasarkan keutamaan, sehingga menutup golongan lain (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 53-54).
Anak dalam golongan ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 250 KUH Perdata yaitu anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan. Dari pasal mengandung pengertian bahwa anak disini tidak hanya anak sah namun termasuk juga anak luar kawin yang diakui.
Selain itu dalam Pasal 852 KUH Perdata ini dijelaskan bahwa anak-anak yang dapat mewaris adalah anak yang dilahirkan dari berbagai perkawinan sekalipun. Dengan demikian maka anak luar kawin yang diakui dapat memperoleh warisan dari orang tuanya yang telah meninggal.
Anak luar kawin disini adalah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah orang tuanya yang telah diakui dengan sah. Anak luar kawin yang diakui dengan sah itu ialah anak yang dibenihkan oleh suami atau istri dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah (Effendi, 1999:61). Jadi anak luar kawin disini adalah anak luar kawin yang mendapat pengakuan sebelum orang tua yang mengakuinya melangsungkan pernikahan sehingga kedudukan anak luar kawin tersebut mempunyai hak untuk mewaris.
Bagian warisan untuk anak luar kawin diakui bersama-sama dengan Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 863 KUH Perdata yaitu bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah.
Jadi, cara menghitung bagian anak luar kawin, ialah dengan memperhatikan dulu siapa kawan pewarisnya, sesudah itu anak luar kawin tersebut kita andaikan sebagai anak sah, kemudian dihitung hak bagiannya sebagai anak luar kawin yaitu 1/3 dari hak yang sedianya diterima, seandainya anak luar kawin itu anak sah (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 88)
b) Golongan II, yaitu orang tua dan saudara-saudara. Dalam hal ini diadakan pembagian yang sama baik untuk golongan ahli waris di garis ayah maupun untuk ahli waris di garis ibu.
Golongan II ini baru menerima warisan apabila golongan I tidak ada dan golongan II ini terdiri dari orang tua dan saudar-saudara sekandung dari si peninggal warisan. Mereka bersama-sama mendapat warisan, meskipun saudara-saudara itu adalah anak dari orang tua si peninggal warisan. Pembagian harta warisan untuk ahli waris golongan II ini diatur dalam pasal-pasal berikut ini:
(1) Pasal 854 KUHPerdata, menentukan:
“Apabila seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami-istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapatkan sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya. Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meniggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara laki atau perempuan itu.”
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang yang meninggal dunia, tanpa meninggalkan keturunan maupun suami istri, berarti sudah tidak ada Golongan I, maka Golongan II yaitu bapak, ibu dan saudara-saudara tampil sebagai ahli waris. Besarnya bagian masing-masing adalah jika bapak dan ibu mewaris bersama seorang saudara baik laki-laki maupun perempuan, mereka masing-masing mendapatkan 1/3 harta warisan. Sedangkan apabila ternyata pewaris mempuanyai saudara lebih dari 2 (dua) orang, maka bapak dan ibu tidak boleh mendapat bagian kurang dari ¼ (seperempat) harta warisan. Bagian bapak dan ibu dijamin masing-masing ¼. Bagian bapak dan ibu tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, setelah itu sisanya dibagikan diantara saudara-saudara pewaris.
(2) Pasal 855 KUHPerdata
Dalam pasal ini mengatur bagian bapak atau ibu yang hidup terlama. Jadi disini hanya ada bapak atau ibu dan ada saudara. Besarnya bagian bapak atau ibu berdasarkan pasal ini adalah ½ (setengah) dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan atau laki-laki. Apabila jumlah saudara pewaris 2 (dua) atau lebih maka bagian ayah atau ibu seperempat dari warisan, dan selebihnya adalah untuk saudara-saudara laki atau perempuan tersebut.
(3) Pasal 856 KUH Perdata
Apabila bapak ataupun ibu pewaris telah meninggal dunia maka bagian saudara-saudara pewaris adalah seluruh warisan tanpa adanya pembedaan laki-laki atau perempuan.
(4) Pasal 857 KUHPerdata
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa dalam pembagian warisan golongan II apabila terdapat saudara sekandung dan saudara seayah atau seibu maka pembagian warisannya disamakan tanpa membedakan apakah itu saudara sekandung atau saudara seayah/seibu (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 59-61).
c) Golongan III, yaitu sekalian keluarga sedarah dalam garis ayah dan golongan dalam garis ibu. Golongan III ini terdiri dari sekalian keluarga sedarah dari garis ayah dan garis ibu. Maka warisan dibagi dua terlebih dahulu, bagian pertama untuk sanak keluarga dari pancar ayah dari yang meninggal, dan sebagian lagi untuk sanak keluarga dari pancar ibu. Bagian dari pancar ibu jatuh pada ayah dan ibu dari si ibu. Dan bagian pancar ayah jatuh pada ayah dan ibu dari si ayah.
Pembagian warisan untuk golongan III ini diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata yang mengatakan bahwa ahli waris golongan ketiga ini terdiri dari sekalian keluarga dalam garis lurus ke atas, baik garis lurus ayah maupun ibu. Berdasarkan Pasal 853 ini maka warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dahulu (kloving). Satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis ayah lurus ke atas. Satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Arti pemecahan (kloving) adalah bahwa tiap-tiap bagian atau dalam tiap-tiap garis, pewarisan dilaksanakan seakan-akan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri.
Ketentuan lain yang merupakan alternatif pengaturan kewarisan dalam golongan III adalah Pasal 861 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan:
“Bahwa jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka segala keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan” (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 75).
Dalam pewarisan garis lurus ke atas, tidak dikenal penggantian tempat. Oleh karena keluarga yang dekat menutup keluarga yang perderajatannya lebih jauh dari pewaris (Pasal 843 KUH Perdata).
d) Golongan IV, yaitu sekalian sekeluarga dalam salah satu garis ke atas yang masih hidup dan golongan anak saudara dalam garis lain. Ahli waris golongan IV ini yaitu keluarga sedarah lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat keenam.
Golongan IV diatur dalam Pasal 858 KUHPerdata. Dalam pasal ini menyatakan bahwa bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta peninggalan menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah garis ke samping dari garis ke atas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut. Pasal 858 tersebut dapat diartikan sebagai berikut:
(1) Apabila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan (berarti Golongan II)
(2) Saudara dalam salah satu garis lurus ke atas (berarti Golongan III)
(3) Harta warisan dibagi dua, yaitu:
(a) ½ bagian warisan (kloving), menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup (kelompok ahli waris yang satu)
(b) ½ bagian lainnya, kecuali dalam hal tersebut dalam pasal berikut, menjadi bagian para sanak saudara dalam garis yang lain.
Sanak saudara dalam garis yang lain, adalah para paman dan bibi serta sekalian keturunan mereka, yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, mereka adalah ahli waris golongan keempat (Surini Ahlan Sjarif, 2005: 77).
4) Testament
Di dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), suatu warisan mungkin saja sebagian dapat diperoleh berdasarkan undang – undang dan sebagian lainnya dapat diperoleh berdasarkan testament. Meskipun mengenai testament ini tidak disebutkan secara tegas, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai pewarisan berdasarkan undang – undang untuk bagian terbesar bersifat hukum pelengkap (aanvullend recht) dan hanya bagian kecil saja yang bersifat hukum pemaksa (dwinggend recht). Selain itu dapat diartikan bahwa seseorang hanya dapat melakukan perbuatan pemilikan (menjual, menghibahkan dsb.) dengan harta peninggalannya, dengan suatu wasiat atau kehendak terakhir (Hartono Soerjopratiknjo, 1982: 2)
Hal di atas sesuai dengan Pasal 874 KUH Perdata, yang menjelaskan bahwa harta peninggalan yang meninggal adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang – undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Jadi, dari harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris dapat diwariskan berdasarkan wasiat dan berdasarkan undang – undang.
Dalam Pasal 875 KUH Perdata, yang dimaksud dengan testament atau kehendak terakhir adalah suatu akte yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki agar terjadi setelah ia meninggal dunia dan olehnya dapat dicabut kembali. Sifat perbuatan hukum yang hendak dituangkan di dalam testament harus memenuhi dua syarat: pertama keberlakuannya harus tergantung meninggalnya orang yang membuat ketetapan itu, dan kedua perbuatan hukum itu harus dapat dibatalkan atau dicabut kembali. Perbuatan hukum yang mengandung kedua unsur itu haruslah dilakukan dengan surat wasiat, sebab jika tidak atau jika dilakukan dengan akte lainnya maka perbuatan hukum itu batal, kecuali asuransi jiwa (Hartono Soerjopratiknjo, 1982: 178).
Ketetapan dengan surat wasiat dalam Pasal 876 KUHPerdata terdiri dari 2 (dua) cara(Efffendi Perangin, 2005: 78), yaitu:
a) Erfstelling, yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Erfstelling ini diatur di dalam Pasal 954 KUH Perdata dimana pengertian Erfstelling di sini diartikan suatu ketetapan kehendak terakhir pada mana si pewaris memberikan harta kekayaan yang akan ditinggalkan setelah ia meninggal kepada seorang atau beberapa orang, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian seimbang seperti misalnya seperdua, sepertiga dan sebagainya. Hartono Soerjopratiknjo dalam bukunya Hukum Waris Testamenter berpendapat bahwa ketentuan dari Pasal 945 KHUPerdata ini sebenarnya kurang lengkap karena suatu erfstelling (penunjukan waris) tidak hanya menyebabkan berpindahtangannya barang-barang (hak-hak) tetapi juga hutang berpindah dari si pewaris kepada para ahli warisnya. Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa: “Suatu erfstelling adalah suatu penunjukan orang atau orang-orang yang akan menggantikan si pewaris dalam seluruh atau sebagian harta kekayaannya” (Hartono Soerjopratiknjo, 1982: 180).
b) Legaat, yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat ditentukan. Legaat (hibah wasiat) ini diatur dalam pasal 957 KUH Perdata yang mengatakan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan (beschikking) yang khusus, dengan mana si pewaris memberikan suatu atau beberapa barang tertentu kepada seorang atau beberapa orang atau memberikan seluruh barang – barangnya dari jenis tertentu seperti misalnya barang-barang bergerak atau memberikan hak pakai hasil atau seluruh atau sebagian harta perninggalannya.
Dengan demikian, wasiat itu merupakan kehendak terakhir dari seseorang/pernyataan sepihak yang setiap waktu dapat dicabut kembali. Namun, dalam pembuatan wasiat ini ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan yaitu pertama, dalam Pasal 897 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang yang belum dewasa dan belum mencapai umur genap delapan belas tahun tidak boleh membuat wasiat. Dan kedua, dalam Pasal 888 KUH Perdata disebutkan bahwa jika dalam surat wasiat ada syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik harus dianggap sebagai tidak tertulis (Effendi Perangin, 2005: 79). Jadi dalam dua kasus diatas baik pengangkatan sebagai ahli waris maupun ketentuan pemberian hibah harus dimuat di dalam surat wasiat.
5) Legitieme Portie
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal. Seorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan – ketentuan di dalam undang – undang yang menentukan siapa – siapa akan mewaris harta peninggalannya dan berapa bagian masing – masing, akan tetapi ketentuan –ketentuan tentang pembagian itu bersifat hukum pengatur dan hukum pemaksa.
Meskipun demikian, untuk beberapa ahli waris ‘ab intestato’ (tanpa wasiat) oleh undang – undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian ini dilindungi oleh hukum. Hal ini dikarenakan demikian dekatnya hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris sehingga pembuat undang – undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa – apa sama sekali. Agar orang tidak secara mudah mengesampingkan mereka, maka undang – undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu.
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang- undang itu dinamakan “legitimaris” sedangkan bagiannya yang dilindungi oleh undang – undang itu dinamakan “legitieme portie”. Jadi pada harta peninggalan dimana ada legitimaris, tentu ada “legitieme portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar gedeelte” (bagian yang tersedia). Yang dimaksud dengan bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh si pewaris (Hartono Soerjopratiknjo, 1982: 109).
Meskipun ketentuan mengenai legitieme bersifat hukum pemaksa, akan tetapi bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu ada demi kepentingan legitimaris dan bukan demi kepentingan umum. Karena itu legitimaris dapat membiarkan haknya dilanggar.
Pengaturan mengenai Legitieme portie ini dapat dilihat dalam Pasal 913 KUHPerdata. Dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa legitieme portie atau bagian warisan menurut undang - undang ialah bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang – undang, yang terhadapnya orang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.
Berdasar pasal diatas maka jelaslah bahwa seorang pewaris harus membagikan harta warisannya kepada ahli waris yang sesuai dengan undang – undang terlebih dahulu sebelum membagikan harta warisannya kepada orang lain yang menurut pewaris berhak untuk mendapatkan bagian harta warisannya baik melalui hibah maupun wasiat.
6) Halangan Menerima Warisan
Menurut Pasal 838 KUH Perdata yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah:
a) Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal
b) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan kareba secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap orang yang meninggal, ialah pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat
c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah orang yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat orang yang meninggal (M. Idris Ramulyo, 2004:90).
Menurut Pasal 840 KUH Perdata, anak-anak dari ahli waris yang tidak pantas itu, tidak boleh dirugikan oleh salahnya orang tua, apabila anak-anak itu menjadi ahli waris atas kekuatan sendiri (uiteigen-hoofde) artinya apabila menurut hukum warisan anak-anak itu tanpa perantaraan orang tuanya mendapat hak selaku ahli waris.
Akibat dari perbuatan ahli waris tersebut yang tidak pantas mengenai barang warisan adalah batal, dan bahwa seorang hakim dapat menyatakan tidak pantas itu dalam jabatannya dengan tidak perlu menunggu penuntutan dari pihak manapun.
b. Pewarisan Menurut Hukum Islam
1) Pengertian Pewarisan
Dalam hukum Islam, hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid yang didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris (Amir, 2005:5).
Menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (a), menerangkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.
Masalah kewarisan akan timbul apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a). Harus ada pewaris (muwarits), seseorang yang telah meniggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (tirkah), adalah merupakan conditio sine quo non (syarat mutlak), karena sebelum ada seseorang meninggal dunia atau ada yang meninggal dunia tetapi tidak ada harta benda yang merupakan kekayaan belumlah timbul masalah kewarisan.
b). Harus ada mauruts atau tirkah: ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris baik hak kebendaan berwujud, maupun tak berwujud, bernilai atau tidak bernilai atau kewajiban yang harus dibayar, misalnya utang-utang pewaris. Dengan catatan bahwa utang pewaris dibayar sepanjang harta bendanya cukup untuk membayar utang tersebut.
c). Harus ada ahli waris (warits), yaitu orang yang akan menerima harta peninggalan pewaris (M. Idris Ramulyo, 2004: 85).
2) Dasar Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasulullah (M. Idris Ramulyo, 2004: 35). Baik dalam Alquran maupun dalam hadis – hadis Rasulullah, dasar hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur dan ada yang tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi poko-pokoknya saja. Dalam Alquran yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam Surat An-Nisaa’; di samping surat-surat lainnya sebagai pembantu.
Dalam Surat An-Nisaa’, yang mengatur mengenai kewarisan antara lain dalam ayat 1-14, 29, 32, 33 dan 176. Dimana dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan jelas bahwa hukum-hukum waris adalah ketentuan dari Allah (Mochtar Naim, 2001: 352). Sedangkan surat-surat lainnya yang disebut sebagai ayat pembantu antara lain Surat Al-Baqarah ayat 180 – 182, ayat 233, ayat 240, ayat 241; Surat Al-Anfal ayat 75; dan Surat Al-Ahzab ayat 4-6 (M. Idris Ramulyo, 2001: 53-55). Dari Surat – Surat tersebut dijelaskan bahwa dalam membagi warisan yang paling diutamakan adalah keluarga sendiri (anak dan istri), kemudian kerabat (orang yang sepertalian darah), setelah itu apabila pewaris itu baik hati maka dengan wasiat dapat memberikan hartanya kepada umat muslim lainnya.
Sedangkan mengenai hadist atau Sunnah Rasulullah, H.M. Idris Ramulyo, S.H.,M.H. yang mengikuti pendapat Hazairin tentang hadis Rasulullah, berpendapat bahwa hadis Rasulullah saw adalah suplemen bagi ketetapan Allah (Alquran) dalam arti kepada Rasulullah diberikan hak interpretasi berupa hak memberi penjelasan baik dengan perkataan (qaul), dengan perbuatan (fi’il), maupun dengan cara lain (sukut/taqrir). Dengan syarat interpretasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan Alquran. Dalam usul fiqh disebut, interpretasi atau penjelasan atas ketetapan Rasulullah atau sunnah Nabi terbagi atas sunah ucapan Rasul, sunah perbuatan Rasul, dan sunah pendiaman Rasul yang membenarkan (M. Idris Ramulyo, 2001:55).
3) Sebab – Sebab Menerima Warisan
Di kalangan para ulama sebab –sebab menerima warisan masih terdapat beberapa kontroversi seputar jumlah penyebab munculnya hak mewaris. Tetapi ada 3 (tiga) yang disepakati oleh para ulama yang dirangkum oleh Syaikh Al-Burhan dalam sebuah syair:
“Jumlahnya adalah tiga, pernikahan, hubungan nasab, kemudian walaa, selain itu tak ada sebab lainnya.” (Abu Umar Basyir, 2006: 53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar