QIRA'AT QUR'AN
A. Pengertian
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Berdasarkan sanadnya Qira'at terbagi menjadi :
1. Mutawatir
Yaitu qira'at yang diriwayatkan oleh oran banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat bohong. Contoh untuk qira'at mutawatir ini ialah qira'at yang telah disepakati jalan perawinya dari imam Qira'at Sab'ah. Qira'at ini sah dibaca dalam dan di luar sholat. Qira'at ini dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Masyhur
Yaitu qira'at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasululah SAW. Qira'at ini diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya serta sesuai dengan rasam Usmani dan kaidah bahasa Arab .Menurut Al Zarqani dan Shubhi Al Sholih kedua macam tingkatan mutaatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun. Qira'at ini popular di kalangan imam qira'at tapi sampai kepada derajat mutawatir.
3. Ahad
Yaitu qira'at ang sanadnya sahih atau bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Usmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Qira'at ini tidak terkenal di kalangan imam qira'at serta tidak sah dibaca sebagai Al Qur'an dan tidak wajib meyakininya.
4. Syaz
Yaitu qira'at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Qira'at ini tidak dapat dijadikan pegangan.
5. Maudhu'
Yaitu qira'at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa mempunyai dasar.
6. Mujrad
Yaitu qira'at yang telah memperoleh sisipan atau tambaha kalimat yang merupakan tafsir dari ayat tersebut.
Berdasarkan jumlahnya, qira'at terbagi menjadi :
1) Qira'at Sab'ah
Adalah qira'at yang dinisbatkan kepada para imam qurra' yang tujuh yang termasyhur. Mereka adalah Nafi', Ibnu Katsir, Ibnu Amir, Ashi, Hamzah dan Kisa'i.
2) Qira'at 'Asyarah
Adalah qira'at sab'ah ditambah dengan tiga qira'at lagi yang disandarkan kepada Abu Ja'far. Yakub, dan khalaf Al 'Asyir.
3) Qira'at Arba' 'Asyarah
Adalah qira'at 'Asyarah lalu ditambah dengan empay qira'at lagi yang disandarkan kepada Ibnu Muhaisin, Al Yazidi, Hasan al Bashsi dan Al A'masy
B. Latar belakang timbulnya perbedaan Qira'at
Latar belakang timbulnya perbedaaan qiraat karena para sahabat berbeda dalam mendengarkan atau mengambil bacaan Rasulullah. Sebagian mereka ada yang merasa cukup dengan satu qiraat saja sementara yang lain mengambil dengan beberapa qiraat. Kemudian para sahabat ini berpencar ke seluruh penjuru dunia dengan tetap menggunakan qira'at yang hanya ia dapati dari Rasul.
Menurut al–Zarqani bahwa munculnya perbedaan qiraat disebabkan pada awal–awal al Qur’an ditulis tanpa menggunakan titik dan baris. Hal ini mengundang cara pembaca yang bermacam – macam sesuai dengan pengertian yang dipahami dari ayat tersebut. Selanjutnya al Zarqani menjelaskan bahwa berbedanya para sahabat mengambil cara pembacaan dari Rasul sehingga menyebabkan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in meriwayatkan dari mereka dengan jalan yang berbeda – beda.
Timbulnya perbedaan qiraat terhadap ayat–ayat al Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh al ’Ibyari ( khususnya qira'at sab’ah ) ialah perbedaan interprestasi dari hadits Rasul yang mengatakan NAJALAL QUR’ANA ’ALA SAB’ATIH AHRUFI. Adapun yang dimaksud "tujuh huruf" disini adalah tujuh cara bacaan.
Berikut ini adalah para imam qira'at yang terkenal dalam sebutan Qira'at Sab'ah, Qira'at Asyarah dan Qira'at Arba Asyara :
1. Nafi' al Madani
2. Ibnu Katsir al Makki
3. Abu Amir al Basri
4. Abdullah bin 'Amr al Syami
5. 'Ashim al Kufi
6. Hamzah al Kufi
7. Al Kisa'i al Kufi
8. Abu Ja'far al Madani
9. Ya'qub al Basri
10. Khalaf al 'Asyir
11. Hasan al Basri
12. Ibnu Muhaisin
13. Al Yazidi
14. Al A'masy
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1) Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz (رَفَارَفٍ) demikian pula dengan lafadz (عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca (عَبَاقَرِيٍّ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2) Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ) dibaca (حَتَّى عِيْنَ ), atau (تَعْلَمْ) dibaca ( تِعْلَمْ).
3) Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4) Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5) Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6) Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Baihaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
C. Urgensi mempelajari Qira'at
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1. Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syaz. Misalnya qira’at Syaz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qira'at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafadz.
5. Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6. Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qiraat.
D. Pengaruh perbedaan Qira'at dalam istinbat hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat (إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth (النبط) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj (استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Perbedaan Qira'at juga dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum, dan adakalanya tidak
1. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam QS Al-Nisa’ (4): 43 :
…. وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudnya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan maksud dari (َامَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at (َامَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'i, membacanya dengan (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qira'at Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qira'at Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qira'at Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1. Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2. Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira>’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira>’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat baik.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya kami dapat menyimpulkan :
1. Qira'at adalah sutau mazhab yang dianut oleh seorang imam qira'at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al Qur'an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan bentuknya.
2. Sesungguhnya Al Qur'an ini diturunkan atas "tujuh huruf" maka bacalah (menurut) mana yang engkau anggap mudah. {Diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim}.
3. Untuk menangkal penyelewenan qira'at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira'at yang dapat diterima (benar) diantaranya :
· Qira'at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipu menurut satu jalan
· Qira'at itu sesuai dengan mushaf Utsmani
· Qira'at itu harus sahih sanadnya baik diriwayatkan dari imam qira'at yang tujuh atau yang sepuluh maupun dari imam-imam qira'at yang selain mereka.
4. Berdasarkan sanadnya, qira'at terbagi menjadi 6 kelompok yaitu :
· Mutawatir
· Masyhur
· Ahad
· Syaz
· Maudhu'
· Mujrad
5. Berdasarkan jumlah qira'atnya, qira'at terbagi menjadi 3 kelompok yaitu :
· Qira'at Sab'ah
· Qira'at 'Asyarah
· Qira'at Arba' 'Asyarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar