FIQH, adalah istilah yang lazim sering kita dengar. Karena fiqh sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari karena meliputi : Ibadah ;muamalah;jinayah dan telah banyak mengahasilkan kitab fiqh. Kitab-kitab fiqih ini adlah hasil dari pemikiran seorang mujtahid di suatu kawasan yang merupakan respon mujtahid tersebut di daerah tersebut. Karenanya Kitab Fiqih bukanlah kitab undang-undang yang mesti di taati, ia hanya merupakan konspilasi pendapat ulama tertentu. Sebab “ the earlier jurist used personal opinion ( ra’yu) and, there fore, did not have a determined methodology for deviration of the law.” Jadi nilai kebenarannya sangat relatif dan temporer. Kecuali itu, tidak ada laporan yang menyebutkan seorang ulama pun yang mengatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan harus di ikuti.
Pada zaman setelah Ulama pengarang kitab wafat, para muridnya mensyarah kitab-kitab guru mereka untuk di adikan referensi utama. Pada gilirannya, kitab-kitab “syarah” ini di jadikan sebagai kitab ‘mutlak” bagi suatau kerajaan. Pada masa inilah mulai terjadi kemandegan pemikiran fiqh, dimana Fiqh menjadi bahan pesanan penguasa. Dan hanya Fiqh yang di restui penguasalah yang boleh berlaku di kerajaan tersebut.Jadi,Fiqh tidak pernah menjadikan “dirinya” sebagai penghambat terwujudnya masyarakat madani, tetapi jestru penguasa yang menjadikan fiqh sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya.
Bahkan, ada yang berpendapat bahwa otoritas ulama-lah yang menyebabkan tidak terwujudnya masyarakat madani maka hal ini sangat bertolak belakang dengan sejarah yang memperlihatkan bahwa imam-imam mazhab dalam mempertahankan idealisme mereka harus berhadapan dengan penguaa. Dan anehnya mereka yang katanya mempunyai “otoritas””, jestru ketika berhadapan dengan pengauasa mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi dari pengauasa. Gambaran ini di jelaskan oleh Akbar S. Ahmed sebagai berikut:
Imam Hanifah meninggal di penjara; Imam Malik di lucuti dan di cambuk: Imam Syafi’I tidak luput dari penjara; dan Imam Hanbali di pukul dan di penjarakan. Namun tidak seorangpun dari mereka yang mengalah. Sepanjang hidup mereka dihormati sebagai orang suci dan memberikan pengaruh yang luas , misalnya hampir sejuta orang menghadiri pemakamam Imam hambali di Baghdad. Sekarang ide-ide mereka mendominasi pemikiran intetelektual dari keagamaan jutaan orang, sementara para penyiksa mereka terlupakan dalam buku-buku sejarah,
Dengan demikian, Ulama fiqh selalu menjawab persoalan umat yang diajukan kepada mereka sesuai dengan konteks masyarakt di daerah tersebut. Para ulama (Mujtahid) dalam berijtihad tidak bias melepaskan realitas masyarakat sebagai objek di mana hukum itu di terapkan. Dalam konteks Indonesia, MUI adalah satu institusi yang memberikan fatwa hukum islam. Fatwa-Fatwa MUI ini merupakan respon terhadap pertanyaan dari para peminta fatwa.
Selain MUI, Organisasi keagamaan juga mempunyai dewan yang membidangi hukum islam . Dalam kajian ini, akan di contohkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Yakni NU dan Muhammadiyah. Dalam NU mempunyai Dewan bahtsul Masail al-diniyah . Komisi ini memepunyai tugas sebagai foum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan.Keputusan komisi ini berbentuk fatwa, nantinya di harapkan bisa menjadi bimbingan bagi warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham ahlussunnah wal jamaah.
Sedangkan Muhammadiyah, Mempunyai Majelis tarjih yang berfungsi tidak hanya memilih dan menguatkan salah satu pendapat yang ada dalam fiqih, tetapi juga secara khusus mengkaji bebrbaga hukum islam yang dihadapi umat islam, dari Mulai persoalan klasik sampai persoalan kontomporer.
Dengan demikian, peran hukum Islam dalam membangun masyarakat madani cukup signifikan. Persoalan-persoalan kontomporer yang muncul ditengah-tengah masyarakat, selalu membutuhkan jawaban secepat mungkin. Jika respon tidak di berikan , maka tidak akan menutup mayarakat akan membuat hukum islam sendiri.
Pertanyaan yang akan di kemukakan selanjutnya adlah hukum islam bagaimana yang bagaimana yang mesti di berlakukan di Indonesia untuk mencapai masyarakat madani?
Menjawab pertanyaan di atas, tampaknya harus ada pendifinisisan mengenai hukum Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ada dua tokoh yang mencoba merumuskan bagaimana hukum islam dalam konteks keindonesiaan dan bersih dari kebudayaan arab, yaitu : Pertama, Hasbi Ash-shiddiqiey yang memeperkenalkan “ fiqh Indonesia”. Ia mendifinisikan “Fiqh Indonesia” sebagai fiqh yang di aplikasikan sejalan dengan karakter Indonesia. Menurut beliau, untuk menuju fiqh islam yang berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu di galakkan: (1) Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama mazhab masa lalu. Ini di maksudkan agar dapat di pilih pendapat yang masih cocok untuk di terapkan dalam msyarakat kita:(2) Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata di dasarkan pada adat dan kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang;(3) ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontomporer yang timbul sebagai akibat kmajuan teknologi. Dengan demikian, ide” Fiqh Indonesia” yang di lontarkan oleh hasbi Ash-Shiddieqy adalah mencoba menelurkan hukum islam yang sesuai dengan adat dan perubahan yang berkembang di Indonesia.
Pikiran di atas kemudian di terjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan menyebutkan bahwa ada dua tema besar reformasi Hukum Islam di Indonesia, yaitu: (1) kembali ke al-Qur’an; dan (2) keindonesiaan. Langkah pertama, tegas yudian di tandai dengan langkah-langkah yang bertujuan untuk membersihkan Praktik-praktik umat islam dari pengaruh non-islam:membuka ijtihad yang selama ini di anggap telah tertutup; mengganyang taqlid; memperbolehkan talfiq dengan cara memeperkenalkan studi perbandingan mazhab. Tema kedua, lanjut Yudian ada dua tema besar lagi, yaitu: cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan membebaskan budaya Indonesia dari Budaya arab dan menjadikan adap Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia,; keindonesiaan berorientasi konstitusiaonal yang di motori oleh sarjana umum yang menguasai system hukum Indonesia, akan tetapi kurang mendalami prinsip-prinsip “ kembali pada Al-Qur’an dan sunnah.”.keindonesiaan berorientasi konstitusional yang di motori oleh para sarjana umum yang menguasai sisitem hukum Indonesia, akan tetapi kurang mendalami prinsip-prinsip “kembalipada al-qur’an dan sunnah.”
Kedua, Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah yang memperkenalkan” Mazhab Nasional Indonesia”. Mazhab ini di bangun semata-mata lewat upaya pembaharuan terhadap mazhab Syafi’i sesuai dengan kondisi lokal masyarakat Indonesia . hasil pemikirannya dapat kita lihat dalam UU No.7/ 1989 tentang Peradilan Agama dan di sepakatinya kompilasi Hukum Islam. Setidaknya ada tiga hal relevansi pemikirannya dalam UU No. 7/ 1989, yaitu (1) Membuat wewenang pengadilan agama seragam di seluruhindonesia;(2) mensejajarkan seluruh pengadilan agama dalam satu system kesatuan yang semuanya mempunyai wewenang sama atas perkara perkawinan, kewarisan, dan wakaf; dan (3) menghapus perlunya pengukuhan pengadilan negeri atas keputusan yang dihasilkan pengadilan agama.
Demikianlah pemikiran Hasbi ash-Shididieqy dan haairin, dan kedua tokoh ini telah meletakkan dasar-dasar bahwa di perlukannya hukum Islam yang berkepribadian Indonesia dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
Dari paparan di atas, Penulis menggagas satu bentuk kajian hukum, yakni fiqh lokal dalm konteks keindonesiaan. Fiqh lokal adalah suatu bentuk pemikiran hukum Islam yang muncul di setiap daerah di Indonesia yang sesuai dengan kondisi dan situasi daerah tersebut sepanjang pemikiran tersebut membawa maslahat. Jika hukum tersebut sejauh pemahaman fiqh tidak membawa maslahat, maka hukum islam tersebut tidak perlu di ikuti. Karena, pemahaman manusia nilai kebenarannya relatif. Jadi, Hukum Islam lebih merupakan hasil dinamika pikiran mujtahid.
Dalam konteks masyarakat madani, perbedaan hukum Islam ‘lokal” tidaklah bertentangan dengan Syariah Islam. Hukum islam yang berkembang dalam intasan sejarah islam misalnya bermacam-macam. Ada hukum Islam Hijaz, Kufah, Syria dan India. Semua hukum islam yang berkembang di daerah tersebut adalah hasil pemikiran ulama daerah setempat yang merupakan jawaban atas persoalan daerah tersebut. Di harapkan ulama Indonesia yang mengerti seluk beluk hukum islam dan paham betul mengenai budaya Indonesia mengeluarkan fatwa-fatwa hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dan sesuai dengan Budaya / adat istiadat (Urf ) masyarakat Indonesia.