Interaksi Haramnya Muamalah

Menyimak pagi bersama khasnya aktivitas awalan: sang pedagang dengan lapaknya, sang karyawan dengan berkasnya, mahasiswa dengan makalahnya, pengangguran dengan harapannya, tukang rumput dengan guntingnya, nelayan dengan lautnya, petani dengan musim tanamnya, polantas dengan peluitnya, pengacara dengan kasusunya, dan lain-lain.

Itulah gambaran umum tentang muamalah. Interaksi manusia dengan segala tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keduniaan. Interaksi ini diatur dalam Islam dalam Fiqh Muamalat. Berbeda halnya dengan Fiqh Ibadah, Fiqh Muamalat bersifat lebih fleksibel dan eksploratif. Hukum semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia, seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum yang terkait dengan harta benda.

Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak pernah terlepas dari kegiatan kebendandaan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalat,[1] walau para fuqaha (ahli fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh muamalah membahas hal berikut : teori hak-kewajiban, konsep harta, konsep kepemilikan, teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan, kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-meminjam, perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang, jaminan, perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin – edt), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).

Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.[2]

1. Maisir

Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)

2. Gharar

Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan.[3] Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :

- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;

- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;

- Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.

Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.

3. Haram

Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.

4. Riba

Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.

Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :

    Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .

    “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”

    Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa : 160-161 .

    “Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

    Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

    Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

5. Bathil

Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.

[1] Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (ciputat : UIN jakarta Press, 2005), cet.1, h. 5

[2] http://khairilmuslim.wordpress.com/2011/04/04/208

[3] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/08/gharar-riba-dan-maisir-di-dalam.html
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Pengelompokan Riba

Beberapa klasifikasi riba
 1.Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.

Riba ini ada dua bentuk:

a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).

Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.

Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)

b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”

Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.


2.
Riba Fadhl
riba ini  adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.

Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.

Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ

“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”

Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:

a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.

Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.

Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:


إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ

“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”

Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:

a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal riba.

b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.

Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.

Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.


3.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).

Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.

Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).

4.Riba Al-Yadd
ialah Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاء
َ“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma denga dibayarkan kontan;kismai dengan kismis riba,kecuali dengan di bayarkan kontan(HR al-Bukhari dari umarbin khatab ra.)
»»  baca lanjutannya sob .. ..

4 PRINSIP MUAMALAH

Prinsip-prinsip Muamalah berbeda dengan prinsip-prinsip akidah ataupun ibadah. Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:

1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nash berikut:

a. Firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan di antara kalian." (QS. An-Nisa`: 29)

"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

b. Firman Allah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)

c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra, 5/338)

2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah,
"Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah.'." (QS. Yunus: 59)

3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun.
Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam—khususnya dalam muamalah—bersifat murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tsubut.

4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad—seperti jual beli, sewa menyewa, dlsb.—disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.

Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan, "Setiap aktivitas
yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal."

Dengan bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz..
Asy-Syathibiy berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang mu'tabar (diakui) menurut syariat."

Wallahu a'lam.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

Transaksi yang dilarang dalam muamalah

Dalam Majmu' Fatawa 28/385, Ibnu Tamiyah mengisyaratkan bahwa pengharaman semua muamalah di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah lantaran di dalam muamalah itu ada kezhaliman, riba, perjudian, dan ketidakjelasan (gharar).

Secara lebih terperinci Dr. Rafiq Yunus al-Mishriy menginventarisir perkara-perkara yang diharamkan dalam muamalah Islam, di antaranya:

1. Riba. Riba adalah tambahan yang diberikan karena pertambahan waktu.
Misalnya, seseorang meminjam uang senilai 100 gram emas selama satu tahun; disepakati dia harus mengembalikannya pada waktunya dengan uang senilai 110 gram emas. Ini jenis riba yang hari ini banyak dipraktikkan oleh perbankan konvensional-kapitalis.

2. Perjudian. Perjudian adalah upaya saling merugikan, hal mana pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui siapa yang akan mendapatkan harta mereka. Di dalam perjudian ada berbagai mudharat, yaitu: membiasakan orang untuk malas, membuat kecanduan, mendorong bobroknya
rumah tangga, dan sejatinya perjudian bukanlah aktivitas ekonomi.

3. Gharar/jahalah. Gharar (spekulasi) didefinisikan oleh para fuqaha kemungkinan, keraguan, ketidakjelasan, dan ketidakpastian; apakah akan mendapatkan suatu hasil ataukah tidak. Para fuqaha memerinci gharar menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Gharar fil wujud, yakni spekulasi keberadaan, seperti menjual sesuatu anak kambing, padahal induk kambing belum lagi bunting.
b. Gharar fil hushul, yakni spekulasi hasil, seperti menjual sesuatu yang sedang dalam perjalanan, belum sampai ke tangan penjual.
c. Gharar fil miqdar, yakni spekulasi kadar, seperti menjual ikan yang terjaring dengan sekali jaring sebelum dilakukannya penjaringan.
d. Gharar fil jinsi, yakni spekulasi jenis, seperti menjual barang yang tidak jelas jenisnya.
e. Gharar fish shifah, spekulasi sifat, seperti menjual barang yang spesifikasinya tidak jelas.
f. Gharar fiz zaman, spekulasi waktu, seperti menjual barang yang masa penyerahannya tidak jelas.
g. Gharar fil makan, spekulasi tempat, seperti menjual barang yang tempat penyerahannya tidak jelas.
h. Gharar fit ta'yin, spekulasi penentuan barang, seperti menjual salah satu baju dari dua baju, tanpa dijelaskan mana yang hendak dijual.

Terkait dengan gharar ini, para fuqaha menyatakan, gharar yang diharamkan adalah gharar yang terang dan banyak—seperti menjual ikan di dalam kolam, sedangkan gharar yang sedikit—seperti menjual jeruk tanpa dikupas terlebih dahulu—dimaafkan.
Perlu dicatat bahwa mudharat gharar berada di bawah mudharat riba, spt dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 29/25.

4. Ihtikar. Yakni membeli barang dengan tujuan menimbunnya untuk dijual ketika harganya tinggi. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang menimbun, dia telah berbuat salah." (HR. Muslim, 11/43)

5. Ghubn. Yakni menaikkan harga barang melebihi harga umum (mark up). Ghubn ada dua: ghubn fahisy (jelas/besar) dan ghubn yasir (kecil).

Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai kadar maksimal ghubn yasir, naum mereka sepakat bahwa mark up lebih dari 33% termasuk ghubn fahisy. Ghubn fahisy hukumnya haram bagi penjual, karena adanya unsur penipuan, sedangkan bagi pembeli, menurut sebagian fuqaha dia tidak berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya, lantaran dia tidak menanyakan terlebih dahulu kepada orang-orang yang lebih tahu/berpengalaman. Sedangkan menurut sebagian yang lain, dia berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya.

6. Najasy. Yakni menaikkan harga barang supaya calon pembeli tertarik lantaran menduga barang yang mahal adalah barang yang baik/berkualitas. Najasy haram, tetapi jual belinya tetap sah, menurut para fuqaha. Pelaku najasy berdosa, sedangkan pembeli keliru karena tidak berhati-hati dan bertanya kepada berbagai pihak yang mengetahui harga dan kualitas barang.

7. Israf. Israf yakni melampaui batas/ berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta melebihi batas kebutuhan. Setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi sikap israf dan membuang-buang harta.
Allah berfirman, "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan!"

8. Zhulm. Zhulm atau berbuat zhalim dilarang Islam dalam seluruh aspek kehidupan; termasuk dalam muamalah. Selain ayat-ayat yang telah disebutkan di depan, Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh mendatangkan mudharat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain."
(HR. Ibnu Majah).

9. Ghashab. Ghashab adalah mengambil hak orang lain secara terang-terangan, berbeda dengan pencurian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hukum ghashab haram, meskipun harta yang diambil tidak mencapai nishab pencurian.

Wallahu a'lam.
»»  baca lanjutannya sob .. ..

prinsip dasar mu'amalah

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut;

Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.

Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.

Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil” .

Menetapkan Harga yang Kompetitif

Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.

Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat” dalam hadits lain Rasul bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia” .

Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar.

Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban ” yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.

Meninggalkan Intervensi yang Dilarang

Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla’ dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .

Menghindari Eksploitasi

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya…, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti” .

Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: “dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan” (QS. Al A’raf:85).

Memberikan Kelenturan dan Toleransi

Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.

Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).

Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.

Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, “Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada” .

Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya” .

Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.

Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya” .
»»  baca lanjutannya sob .. ..